tag:blogger.com,1999:blog-49929796611492227102024-02-20T20:35:59.621-08:00-catatan saya-welcome to my blogkikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.comBlogger58125tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-91518925603782093112011-03-08T22:22:00.000-08:002011-03-08T22:24:21.607-08:00Bunga Citra Lestari-Tentang Kamu<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><iframe allowfullscreen='allowfullscreen' webkitallowfullscreen='webkitallowfullscreen' mozallowfullscreen='mozallowfullscreen' width='320' height='266' src='https://www.youtube.com/embed/IjvlrxZEFWE?feature=player_embedded' frameborder='0'></iframe></div><div style="color: #38761d; text-align: center;"><br />
</div><div style="color: #38761d; text-align: center;">ku tak bisa menebak<br />
ku tak bisa membaca<br />
tentang kamu<br />
tentang kamu<br />
<br />
kau buat ku bertanya<br />
slalu dalam hatiku<br />
tentang kamu<br />
tentang kamu<br />
<br />
[reff]<br />
bagaimana bila akhirnya ku cinta kau<br />
dari kekuranganmu hingga lebihmu<br />
bagaimana bila semua benar terjadi<br />
liriksong.wordpress.com<br />
mungkin inilah yang terindah<br />
<br />
begitu banyak bintang<br />
sperti pertanyaanku<br />
tentang kamu<br />
tentang kamu<br />
<br />
back to [reff]<br />
<br />
back to [reff]</div><div style="color: #38761d; text-align: center;"><br />
</div><div style="color: #38761d; text-align: left;">love this song so much :) </div>kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-11674192888622024882011-03-01T21:03:00.000-08:002011-03-01T21:03:12.594-08:00About My Beloved School<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="color: purple;">Banyak sekali suka-duka yang aku rasakan selama bersekolah di SMPN 1 Singosari ini. Yah, tentu saja tidak semuanya yang akan aku ceritakan di sini. Pertama kali masuk SMP ini, rasanya bener-bener bangga.. Karenaa, berawal dari sekedar coba-coba daftar, dan setelah melewati tahapan-tahapan test yang terbilang ribet, ternyata bisa masuk juga di SMP ini khususnysa di program RSBI. Dan berikut ini sekilas unek-unekku selama bersekolah di sini</span>.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span class="Apple-style-span" style="color: #274e13;">Kelas VII</span><o:p></o:p></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="color: #38761d;">Aku masuk di kelas VII-B. Yah, kesan pertama masuk kelas ini bener-bener “wah” karena fasilitasnyayang bisa dibilang cukup lengkap. Contohnya, AC, LCD, dan bangkunya <span style="font-family: Wingdings;">:)</span> Setelah beberapa bulan di kelas ini, aku mulai merasa nyaman karena aku bisa mendapat teman-teman baru. Di kelas VII-B ini juga aku mulai mendapat sahabat-sahabat yang baik :D</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="color: #38761d;">Beralih ke masalah guru, selama kelas VII ini ada satu guru yang bisa dibilang rada’ killer, sebut saja Mrs. E. Awalnya aku takut banget sama guru satu ini soalnya kalau masuk kelas ,Beliau lebih sering marah-marah, sih. Tapiiii. Saat semester II pemikiranku tentang MRs. E ini mulai berubah, ternyata sebenernya Mrs. E ini orangnya baik loh –maaf ya bu-. Yah, mungkin itu semua cuma cara Beliau buat mendidik muridnya supaya pintar (?)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span class="Apple-style-span" style="color: #e69138;">Kelas VIII</span><o:p></o:p></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="color: orange;">Next, kelas VIII ini aku masuk di kelas VIII-B. Awalnya agak canggung di kelas ini, karena ada beberapa teman baru yang belum terlalu aku kenal. Tapi lama-kelamaan nyaman juga di kelas ini dan di kelas ini juga aku mulai mengenal seseorang yang bisa dibilang istimewa.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="color: orange;">Oke, tentang gurunyaaa… ada beberapa guru favoritku di kelas VIII ini dan salah satunya adalah Mr. E. Beliau ini kalau nerangin enak banget, kalau buat aku pribadi nih rasanya cepet nyambung kalau diajar Beliau. Kalau guru yang nyebelin? Ya ada juga! Sebut saja Mrs. T, beliau ini selalu membingungkan muridnya dengan tugas yang memerlukan modal tidak sedikit. Mana tugasnya itu lo, mesti aneh-aneh! Tapiii, bu guru yang satu ini sebenernya cantik lho. Coba kalau tugasnya ngga’ ngrepotin, pasti tambah cantik, bu :P</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span class="Apple-style-span" style="color: #990000;">Kelas IX</span><o:p></o:p></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="color: #cc0000;">Dan yang terakhir kelas IX.. seperti sebelum-sebelumnya aku masuk di kelas B lagi, lebih tepatnya IX-B. sumpah ini kelas bener-bener gokil deh pokoknya. Semua temen-temennya pada baik dan nyenengin </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="color: #cc0000;">Kalau soal guru, sebagian besar guru di kelas IX ini baik semua, seperti pak B (wali kelas tercinta yang perhatian), Bu W (beliau ini fashionable banget dah pokoknya), Bu K (bu guru satu ini orangnya baik dan pengertian), dan pak M (Beliau ini baik banget sama kelas kita). Tapi guru yang <b>kurang </b>menyenangkan juga ada, sebut saja Mr. G. beliau ini mengajar mata pelajaran yang sama dengan Mrs. T dan sama-sama nyebelinnya. Tapi jelas lebih nyebelin Pak G ini! Bayangin aja, beliau ini cerewet banget sama yang namanya tugas! Terus beliau ini juga hemat kata-kata dalam mengomentari tugas muridnya, jadi kita mesti maju berkali-kali buat mbetulin tugas! Aduh pak, yang pengertian dikit dong sama muridnya :(</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="color: purple;">Ada satu hal lagi yang nggak aku suka dari sekolah ini, yaitu SATPAMnya. Waktu masih mengerjakan tugas di sekolah -pulang sekolah-, ni satpam pasti langsung ngusir dengan gayanya yang menyebalkan! </span><br />
<span class="Apple-style-span" style="color: purple;">kalau mengenai pelayanan di sekolah ini, menurutku sudah cukup memuaskan. </span><br />
<span class="Apple-style-span" style="color: purple;">Yaaah, itulah kesan-kesanku selama di sekolah ini. Harapanku mengenai SMPN 1 Singosari ini, semoga sekolah ini bisa cepat menjadi SBI dan meninggalkan predikat "Rintisan"nya.Dan semoga sekolah ini semakin baik ke depannya :)</span></div>kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-45616680483203198952011-02-12T22:45:00.001-08:002011-02-12T22:45:42.478-08:00Paman Alfred dan 3 Ekor Rakun<div style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: x-small;"><span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Di sebuah peternakan yang luas, tinggal seorang peternak yang bernama Alfred. Ia lebih sering di panggil Paman Alfred oleh tetangga di sekitarnya.</span></span></div><div style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: x-small;"><span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Setiap hari pekerjaannya memerah susu sapi dan memberi sapi-sapinya makan, membabat rumput-rumputan untuk makanan sapi, kemudian memberi makan ternak-ternaknya yang lain. Selain itu juga membersihkan ladang jagung dan gandumnya. Setelah semuanya selesai, Paman Alfred berkeliling ladang dan peternakannya, melihat apakah ada pagar-pagar yang rusak atau tidak.</span></span></div><div style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: x-small;"><span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Sore menjelang malam hari, Paman Alfred merasa punggungnya sakit dan pegal semua. Setelah makan malam, ia segera tidur karena badannya sudah sangat lelah. Ia menghempaskan badannya di tempat tidurnya yang besar dan empuk. "Saya sangat lelah," keluhnya. Tidak lama kemudian, Paman Alfred tertidur. Di tengah tidurnya, ia tiba-tiba terbangun mendengar ada suara sesuatu dari atap loteng rumahnya. Paman Alfred merasa terganggu tidurnya. Ia segera mengenakan sendal dan mengambil senter.</span></span></div><div style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: x-small;"><span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Paman Alfred berjalan menaiki tangga menuju atap lotengnya. Setelah membuka pintu lotengnya, paman Alfred sangat terkejut sampai hampir terjatuh ke belakang. Ia melihat 3 ekor rakun yang sedang bernyanyi. Karena kesalnya, ia berteriak, "Diam..!", 3 rakun tersebut tetap bernyanyi, walaupun sudah diusir. Akhirnya, paman Alfred kembali ke kamarnya. Ia mencoba untuk melanjutkan tidurnya.</span></span></div><div style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: x-small;"><span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Esok harinya, ia mengalami hal yang sama dengan kemarin. Paman Alfred akhirnya membeli racun pengusir rakun. Ketika malam hari, Paman Alfred kembali mendengar rakun-rakun tersebut bernyanyi. Rakun-rakun tersebut tidak mau menyentuh makanan yang diberikan Paman Alfred. Mereka tahu kalau makanan tersebut sudah diberi racun. Paman Alfred naik ke loteng. Ia berteriak-teriak menyuruh rakun-rakun itu berhenti menyanyi. Ia juga melempar rakun-rakun itu dengan sendalnya. Rakun-rakun itu mengelak sambil terus bernyanyi mengejek Paman Alfred.</span></span></div><div style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: x-small;"><span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Keesokan harinya. Paman Alfred pergi ke perpustakaan. Ia mencari buku cara mengusir rakun. Setelah hampir satu jam, buku yang dicarinya berhasil ditemukan. Di buku tersebut tertulis cara mengusir rakun adalah dengan membunyikan suara yang bising, misalnya dengan radio dan lainnya. Setelah sampai di rumah, Paman Alfred menyiapkan radio tuanya. Ia memasukkan kaset lagu rock ke dalam radiotapenya.</span></span></div><div style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: x-small;"><span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Malam harinya, ia memasang radio tersebut di loteng. Ia mencoba untuk tidur tetapi rasa penasaran membuat Paman Alfred ingin melihat keadaan di loteng. Ia kembali terkejut melihat rakun-rakun tersebut masih ada di loteng. Mereka bahkan tidak hanya menyanyi. Mereka juga menari-nari mengikuti musik. Habis sudah kesabaran Paman George. Mukanya menjadi merah karena kesal, setelah mematikan radio ia berteriak sekeras-kerasnya. "Diaammmm…!", teriak Paman Alfred. Setelah agak reda kekesalannya, Paman Alfred berkata,"Aku punya tawaran untuk kalian, bagaimana kalau kita tukar tempat ?, kalian boleh menempati kamarku sebagai tempat kalian", ujar Paman Alfred kepada rakun-rakun itu. Rakun-rakun itu setuju. Esok malam mereka menempati kamar Paman Alfred, sedang Paman Alfred tidur di loteng. Setelah menyanyi dan menari akhirnya rakun-rakun itu tertidur di kamar Paman Alfred.</span></span></div><div style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><span style="font-family: Verdana; font-size: x-small;"><span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Paman Alfred yang sudah sangat lelah tidak memikirkan lagi tempat tidurnya. Ia tertidur lelap di loteng. Saking lelapnya, Paman Alfred bermimpi tentang rakun, ia bernyanyi dalam mimpinya, persis seperti nyanyian yang di nyanyikan oleh 3 rakun. Tiga rakun yang tidur di kamar Paman Alfred terbangun, mereka merasa terganggu dan takut mendengar suara yang berasal dari loteng. Mereka segera berlarian keluar rumah dan akhirnya mereka tidak pernah datang lagi ke rumah Paman Alfred. Akhirnya sejak saat itu, Paman Alfred bisa tidur dengan nyenyak setelah bekerja seharian.</span></span></div><div><span style="font-family: Verdana; font-size: x-small;"><span style="font-family: verdana; font-size: x-small;"><br />
</span></span></div>kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-44697764421560717072011-02-12T22:44:00.001-08:002011-02-12T22:44:59.572-08:00Pangeran Bungsu dan Putri Laut<div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Di tiongkok ada seorang raja yang memiliki delapan orang pangeran. Raja kini semakin tua dan sudah saatnya untuk menentukan penerusnya. Namun raja belum bisa memutuskan siapakah diantara kedelapan putranya yang berhak, karena semuanya sangat pandai dan terlatih.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Akhirnya dia memutuskan untuk menyuruh putra-putranya berkelana selama tiga tahun untuk mencari ilmu yang istimewa. Dengan dibekali emas dan uang, kedelapan putra raja tersebut berangkat meninggalkan istana. Mereka berpencar dan berdandan layaknya rakyat biasa. Semuanya bertujuan untuk mencari ilmu yang paling pantas bagi raja penerus tahta.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Tiga tahun kemudian, mereka semua kembali ke istana dan tampaknya sangat yakin dengan ilmu yang mereka pelajari. Kini tiba saatnya mereka menceritakan pengalaman dan ilmu apa yang telah mereka dapatkan.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">“Aku belajar pada tukang kayu ayah, dan kini aku sangat ahli membuat perabotan yang sangat indah!” kata pangeran satu.<br />
“Ilmuku adalah membuat ratusan jenis makanan lezat ayah!” kata pangeran dua.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Semua pangeran menjelaskan ilmunya satu persatu, hingga tinggalah pangeran delapan.<br />
“Nah apa keahlian yang kau dapatkan Bungsu?” tanya raja.<br />
“Aku pandai menggesek rebab ayah! Aku berguru pada seorang seniman terkenal,” kata pangeran bungsu.<br />
“Apa! Menggesek rebab? Bagaimana bisa kau berpikir bahwa seorang raja pantas menggesek rebab. Kamu sungguh mengecewakan!” bentak raja.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Pangeran bungsu kecewa mendengar kata-kata ayahnya, maka dia memutuskan untuk pergi dari istana dengan membawa rebab kesayangannya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Sepanjang perjalanan, pangeran bungsu menggesek rebabnya untuk mengusir kesedihannya. Alunan rebabnya sangat indah dan merdu, sehingga semua makhluk yang mendengarnya merasa terlena.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Suatu hari yang indah, pangeran bungsu beristirahat di pinggir pantai. Dia mengalunkan lagu-lagu sendu lewat gesekan rebabnya. Tanpa disadarinya seorang kakek tua telah berdiri di hadapannya. Dengan lembut dia menyapa pangeran.<br />
“Anak muda, lagumu sangat indah dan merdu. Tuan putri telah mendengar lagu anda dan sangat ingin bertemu dengan anda. Beliau ingin anda menjadi gurunya. Bersediakah anda?”<br />
“Dimanakah kerajaan kalian?” tanya pangeran.<br />
“Di dasar laut,” kata kakek tua.<br />
“Bagaimana aku bisa kesana?” kata pangeran keheranan.<br />
“Tenang saja. Pejamkan matamu!” katanya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">WUZZ! Angin dingin menyelimuti pangeran bungsu saat dia memejamkan mata. Dan ketika dia membuka matanya, dia telah berada di sebuah istana yang keindahannya sulit dilukiskan dengan kata-kata. Dindingnya dipenuhi kerang dan batu permata berwarna-warni. Pilarnya dari untaian mutiara. Dan lantainya bersinar seperti kaca.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Kedatangannya disambut gembira oleh raja laut dan putrinya. Mereka menjamu dan memintanya untuk tinggal selamanya di istana. Namun pangeran menolak, namun dia berjanji akan tinggal dan mengajari putri laut selama tiga tahun.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Tidak terasa tiga tahun pun berlalu. Putri laut telah mahir memainkan rebabnya. Kini tiba saatnya pangeran bungsu untuk pulang kembali ke daratan.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">“Guru, jika besok ayah menawarimu hadiah, mintalah vas bunga emas di atas pungung dewa kura itu,” kata putri laut.<br />
“Kenapa?” tanya pangeran.<br />
“Karena vas itu bisa mengabulkan semua permintaan guru. Cukup bisikan keinginanmu di depannya, maka dalam sekejap keinginanmu akan terwujud!” jelasnya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Maka saat raja laut memintanya untuk memilih hadiah, pangeran meminta vas bunga tersebut.<br />
“Anak muda, sayang sekali vas ini tidak bisa diberikan kepada orang lain karena ini pusaka keluarga. Tapi karena aku sudah berjanji untuk memenuhi keinginannmu maka aku akan meminjamkannya kepadamu selama tiga tahun. Setelah itu aku akan mengambilnya kembali.” Kata raja laut.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Pangeran bungsu pun diantar kembali ke darat. Kemudian dia memutuskan untuk meminta istana yang mirip dengan istana raja laut beserta hewan ternak yang banyak. Dibisikannya keinginannya di depan vas bunga tersebut. Dalam sekejap di depannya berdiri istana yang sangat megah dan serupa dengan istana raja laut lengkap dengan pekerja dan hewan ternak yang banyak. Sejak itu pangeran bungsu tinggal di istananya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Para nelayan yang sering melewati istana pangeran bungsu membawa berita kemegahan istana itu ke pasar, lalu menyebar ke kota hingga akhirnya terdengar oleh raja, ayah pangeran. Dia tidak senang ada orang lain yang menyaingi kemegahan istananya. Lalu dengan didampingi para prajuritnya dia mendatangi istana pangeran bungsu.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Alangkah terkejutnya raja, ketika yang menyambutnya di istana megah itu tiada lain adalah putra bungsunya.<br />
“Bagaimana kau bisa membangun istana semegah ini?” tanya raja.<br />
“Oh, aku memperolehnya dari upah menggesek rebab ayah” kata pangeran.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Ayah pangeran adalah raja yang tamak. Dia meminta pangeran bungsu untuk menukar istananya. Ternyata pangeran menyetujuinya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Sejak itu raja tinggal di istana megah dan pangeran kembali ke istana lamanya. Karena raja tidak lagi memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, maka pangeran bungsu mengambil alih kendali sehingga rakyat kembali hidup makmur. Pangeran sangat disukai rakyat karena dia pemimpin yang adil dan bijaksana, demikian pula para pejabat menilainya sangat cekatan, dan pandai.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Suatu hari, tiga tahun kemudian, raja terbangun dan mendapati dirinya tidur di atas rumpu dan bukannya di kasur empuk yang semalam ditidurinya. Dengan ketakutan, raja berlari menuju istana lamanya dan mengadukan hal tersebut kepada pangeran bungsu.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Pangeran bungsu lalu teringat akan janjinya kepada raja laut, dan tahulah ia bahwa raja laut telah mengambil kemabli pusakanya. Dia tidak memberitahukan hal itu kepada ayahnya, sebaliknya dia menasihati ayahnya untuk memperbaiki sikapnya yang selalu memandang rendah orang lain dan serakah.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Raja bukannya sadar, sebaliknya dia meminta agar pangeran bungsu mengembalikan tahtanya. Namun rakyat dan para pejabat yang tidak senang dengan raja menolak dan menentang raja. Akhirnya raja menyerah. Pangeran bungsu yang baik hati mengijinkan ayahnya dan ketujuh saudaranya untuk tetap tinggal di istana dan hidup bersama.</div>kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-22350528942177789912011-02-12T22:28:00.001-08:002011-02-12T22:28:20.561-08:00Saudagar Jerami<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, Utopia, 'Palatino Linotype', Palatino, serif; font-size: 14px; line-height: 21px;">Dahulu kala, ada seorang pemuda miskin yang bernama Taro. Ia bekerja untuk ladang orang lain dan tinggal dilumbung rumah majikannya. Suatu hari, Taro pergi ke kuil untuk berdoa. "Wahai, Dewa Rahmat! Aku telah bekerja dengan sungguh-sungguh, tapi kehidupanku tidak berkercukupan". "Tolonglah aku agar hidup senang". Sejak saat itu setiap selesai bekerja, Taro pergi ke kuil. Suatu malam, sesuatu yang aneh membangunkan Taro. Di sekitarnya menjadi bercahaya, lalu muncul suara. "Taro, dengar baik-baik. Peliharalah baik-baik benda yang pertama kali kau dapatkan esok hari. Itu akan membuatmu bahagia."</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, Utopia, 'Palatino Linotype', Palatino, serif; font-size: 14px; line-height: 21px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, Utopia, 'Palatino Linotype', Palatino, serif; font-size: 14px; line-height: 21px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, Utopia, 'Palatino Linotype', Palatino, serif; font-size: 14px; line-height: 21px;">Keesokan harinya ketika keluar dari pintu gerbang kuil, Taro jatuh terjerembab. Ketika sadar ia sedang menggenggam sebatang jerami. "Oh, jadi yang dimaksud Dewa adalah jerami, ya? Apa jerami ini akan mendatangkan kebahagiaan…?", pikir Taro. Walaupun agak kecewa dengan benda yang didapatkannya Taro lalu berjalan sambil membawa jerami. Di tengah jalan ia menangkap dan mengikatkan seekor lalat besar yang terbang dengan ributnya mengelilingi Taro di jeraminya. Lalat tersebut terbang berputar-putar pada jerami yang sudah diikatkan pada sebatang ranting. "Wah menarik ya", ujar Taro. Saat itu lewat kereta yang diikuti para pengawal. Di dalam kereta itu, seorang anak sedang duduk sambil memperhatikan lalat Taro. "Aku ingin mainan itu." Seorang pengawal datang menghampiri Taro dan meminta mainan itu. "Silakan ambil", ujar Taro. Ibu anak tersebut memberikan tiga buah jeruk sebagai rasa terima kasihnya kepada Taro.</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, Utopia, 'Palatino Linotype', Palatino, serif; font-size: 14px; line-height: 21px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, Utopia, 'Palatino Linotype', Palatino, serif; font-size: 14px; line-height: 21px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, Utopia, 'Palatino Linotype', Palatino, serif; font-size: 14px; line-height: 21px;">"Wah, sebatang jerami bisa menjadi tiga buah jeruk", ujar Taro dalam hati. Ketika meneruskan perjalanannya, terlihat seorang wanita yang sedang beristirahat dan sangat kehausan. "Maaf, adakah tempat di dekat sini mata air ?", tanya wanita tadi. "Ada dikuil, tetapi jaraknya masih jauh dari sini, kalau anda haus, ini kuberikan jerukku", kata Taro sambil memberikan jeruknya kepada wanita itu. "Terima kasih, berkat engkau, aku menjadi sehat dan segar kembali". Terimalah kain tenun ini sebagai rasa terima kasih kami, ujar suami wanita itu. Dengan perasaan gembira, Taro berjalan sambil membawa kain itu. Tak lama kemudian, lewat seorang samurai dengan kudanya. Ketika dekat Taro, kuda samurai itu terjatuh dan tidak mampu bergerak lagi. "Aduh, padahal kita sedang terburu-buru." Para pengawal berembuk, apa yang harus dilakukan terhadap kuda itu. Melihat keadaan itu, Taro menawarkan diri untuk mengurus kuda itu. Sebagai gantinya Taro memberikan segulung kain tenun yang ia dapatkan kepada para pengawal samurai itu. Taro mengambil air dari sungai dan segera meminumkannya kepada kuda itu. Kemudian dengan sangat gembira, Taro membawa kuda yang sudah sehat itu sambil membawa 2 gulung kain yang tersisa.</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, Utopia, 'Palatino Linotype', Palatino, serif; font-size: 14px; line-height: 21px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, Utopia, 'Palatino Linotype', Palatino, serif; font-size: 14px; line-height: 21px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, Utopia, 'Palatino Linotype', Palatino, serif; font-size: 14px; line-height: 21px;">Ketika hari menjelang malam, Taro pergi ke rumah seorang petani untuk meminta makanan ternak untuk kuda, dan sebagai gantinya ia memberikan segulung kain yang dimilikinya. Petani itu memandangi kain tenun yang indah itu, dan merasa amat senang. Sebagai ucapan terima kasih petani itu menjamu Taro makan malam dan mempersilakannya menginap di rumahnya. Esok harinya, Taro mohon diri kepada petani itu dan melanjutkan perjalanan dengan menunggang kudanya.</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, Utopia, 'Palatino Linotype', Palatino, serif; font-size: 14px; line-height: 21px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, Utopia, 'Palatino Linotype', Palatino, serif; font-size: 14px; line-height: 21px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, Utopia, 'Palatino Linotype', Palatino, serif; font-size: 14px; line-height: 21px;">Tiba-tiba di depan sebuah rumah besar, orang-orang tampak sangat sibuk memindahkan barang-barang. "Kalau ada kuda tentu sangat bermanfaat," pikir Taro. Kemudian taro masuk ke halaman rumah dan bertanya apakah mereka membutuhkan kuda. Sang pemilik rumah berkata,"Wah kuda yang bagus. Aku menginginkannya, tetapi aku saat ini tidak mempunyai uang. Bagaimanan kalau ku ganti dengan sawahku ?". "Baik, uang kalau dipakai segera habis, tetapi sawah bila digarap akan menghasilkan beras, Silakan kalau mau ditukar", kata Taro.</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, Utopia, 'Palatino Linotype', Palatino, serif; font-size: 14px; line-height: 21px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, Utopia, 'Palatino Linotype', Palatino, serif; font-size: 14px; line-height: 21px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, Utopia, 'Palatino Linotype', Palatino, serif; font-size: 14px; line-height: 21px;">"Bijaksana sekali kau anak muda. Bagaimana jika selama aku pergi ke negeri yang jauh, kau tinggal disini untuk menjaganya ?", Tanya si pemilik rumah. "Baik, Terima kasih Tuan". Sejak saat itu taro menjaga rumah itu sambil bekerja membersihkan rerumputan dan menggarap sawah yang didapatkannya. Ketika musim gugur tiba, Taro memanen padinya yang sangat banyak.</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, Utopia, 'Palatino Linotype', Palatino, serif; font-size: 14px; line-height: 21px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, Utopia, 'Palatino Linotype', Palatino, serif; font-size: 14px; line-height: 21px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: Georgia, Utopia, 'Palatino Linotype', Palatino, serif; font-size: 14px; line-height: 21px;">Semakin lama Taro semakin kaya. Karena kekayaannya berawal dari sebatang jerami, ia diberi julukan "Saudagar Jerami". Para tetangganya yang kaya datang kepada Taro dan meminta agar putri mereka dijadikan istri oleh Taro. Tetapi akhirnya, Taro menikah dengan seorang gadis dari desa tempat ia dilahirkan. Istrinya bekerja dengan rajin membantu Taro. Merekapun dikaruniai seorang anak yang lucu. Waktu terus berjalan, tetapi Si pemilik rumah tidak pernah kembali lagi. Dengan demikian, Taro hidup bahagia bersama keluarganya.</span>kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-26231689821755665052011-02-12T21:58:00.001-08:002011-02-12T21:58:40.533-08:00Asal Mula Highlighter<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span class="apple-style-span"><span style="color: black; font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Nenek moyang highlighter diciptakan oleh Pak Yukio Horie darh Jepang. Ia ingin membuat pena khusus untuk menulis kanji. Orang Jepang biasa menulis huruf kanji dengan kuas. Dengan kuas, tarikan garis bisa dibuat tebal tipis dan lebih halus. Pena dan ballpoint tidak bisa menulis sehalus kuas karena ujung pena dan ballpoint terbuat dari logam.</span></span><span style="color: black; font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;"><br style="mso-special-character: line-break;" /> <!--[if !supportLineBreakNewLine]--><br style="mso-special-character: line-break;" /> <!--[endif]--><span class="apple-style-span"><o:p></o:p></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span class="apple-style-span"><span style="color: black; font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Nah, Pak Horie lalu merancang pena khusus yang ujungnya lebih lembut. Ia berusaha membuat pena yang ujungnya menyerupai kuas. Pena ini juga memiliki penampung tinta, sehingga tak perlu selalu mencelupkan ujung pena ke dalam botol tinta setiap hendak menggunakan. Pak Yukio Horie mempatenkan penanya pada tahun 1962. Sejak itu, banyak perusahaan mengembangkan alat tulis seperti ini.</span></span><span style="color: black; font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;"><br style="mso-special-character: line-break;" /> <!--[if !supportLineBreakNewLine]--><br style="mso-special-character: line-break;" /> <!--[endif]--><span class="apple-style-span"><o:p></o:p></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span class="apple-style-span"><span style="color: black; font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Pada awal tahun 90-an muncullah pena bertinta terang bermerk Hi-Liter. Di Indonesia, kita menyebut highlighter ini dengan stabilo. Padahal Stabilo hanyalah nama salah satu merk highlighter. Ada merk highligter yang lain seperti Pilot, Zebra, Faster, dll.</span></span></div>kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-57207181775213607512011-02-12T21:57:00.000-08:002011-02-12T21:57:13.409-08:00Pembuat Bahan Peledak yang Menyesal<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span class="apple-style-span"><span style="color: black; font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Teman-teman pernah mendengar Hadiah Nobel kan? Ya, hadiah yang diberikan bagi orang yang mencintai perdamaian dunia. Siapa sangka, pemberi hadiah itu adalah orang yang justru menciptakan dinamit. Yaitu, bahan yang bisa meledakkan gedung dan melukai orang. Dialah Pak Alfred Nobel. <o:p></o:p></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span class="apple-style-span"><span style="color: black; font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Pak Alfred Nobel lahir di kota Stockholm, Swedia. Ayahnya, Bapak Immanuel Nobel, bekerja membuat gedung, rel kereta api, dan terowongan pertambangan. Sehari-hari ayahnya menggunakan bubuk mesiu untuk meledakkan bukit atau batuan yang hendak dijadikan jalan kereta api dan terowongan. Ayahnya ingin Pak Alfred menjadi insinyur. Ia kemudian disuruh belajar ilmu kimia. Padahal waktu itu Pak Alfred lebih suka belajar puisi, meskipun dia juga pintar ilmu kimia dan fisika.Namun keengganan Pak Alfred belajar kimia tidak berlangsung lama. Minatnya muncul ketika dia berkenalan dengan Pak Ascanio Sobrero.Pak Sobrero adalah penemu bahan peledak cair atau nitrogliserin.Bahan peledak ini lebih hebat dari bubuk mesiu. Sayangnya bahan peledak baru itu mudah sekali meledak. Pak Alfred penasaran, dia ingin nitrogliserin hanya meledak jika dipicu. Dan aman dipakai seperti bubuk mesiu. Karena itu Pak Alfred getol belajar kimia.Karya dari Bahan Peledak.Percobaan demi percobaan dilakukan di laboratorium. Ledakan sering terjadi, bahkan sampai menewaskan banyak orang. Termasuk adik kandung Pak Alfred. Wah, masyarakat kota Stockholm marah sekali. Mereka melarang Pak Alfred mencoba bahan peledak di kota. Pak Alfred terpaksa pindah ke tempat terpencil. Untungnya, setelah 4 tahun, dia berhasil membuat nitrogliserin tidak mudah meledak. Dia menamai bahan peledak itu dinamit..Wow, dinamit membuat Pak Alfred kaya raya. Dia sampai mendirikan pabrik dinamit di 20 negara. Waktu itu dinamit banyak dibutuhkan untuk membuat lubang terowongan di bukit pertambangan dan jalan kereta api. Tentu saja Pak Alfred senang.<o:p></o:p></span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span class="apple-style-span"><span style="color: black; font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Tiba-tiba meletus perang antara sekutu Jerman dan sekutu Inggris. Perang Dunia I ini menggunakan dinamit sebagai senjata untuk melaw</span></span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">an musuh. Aduh, korban yang mati dan luka banyak sekali. Dan itu gara-gara mereka menggunakan dinamit yang ditemukan Pak Alfred. Masyarakat dunia marah sekali. Mereka mengutuk Pak Alfred sebagai orang yang sangat jahat..Betapa sedihnya Pak Alfred. Waktu menciptakan dinamit, tidak terlintas di pikirannya bahwa dinamit akan dipakai untuk perang. Dia menyesal sekali. Dia lupa memikirkan pengaruh buruk ciptaannya..Kesedihan Pak Alfred sangat dalam sampai kesehatannya terganggu. Dia menjadi tidak nafsu makan, pusing, dan sakit jantung. Anehnya, dokter menyarankannya untuk minum nitrogliserin untuk mengobati sakit jantungnya. Astaga, bukankah nitrogliserin itu bahan untuk membuat dinamit? Wah, tentu saja Pak Alfred tidak percaya saran dokternya. Dia menolak minum nitrogliserin alias bahan pembuat dinamit sampai ajalnya pada tanggal 10 Desember 1896..Selama hidupnya Pak Alfred Nobel mempunyai harta melimpah berkat penemuan dinamitnya. Dia tidak pernah menikah dan tidak punya anak. Karena dia terlalu sibuk bekerja di laboratorium dan mengunjungi pabriknya. Ketika meninggal, Pak Alfred membuat wasiat. Dia ingin orang mencintai perdamaian dan tidak hanya memikirkan kehebatan sebuah penemuan, namun juga memikirkan akibat buruknya. Bagi orang yang berbuat itu, dia memberikan hartanya sebagai hadiah. Sampai kini hadiah Nobel diberikan tiap tanggal 10 Desember pada orang yang membuat tulisan indah, penelitian yang berguna, dan perdamaian bagi dunia.</span><span style="color: black; font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div>kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-48847894992741718842011-02-04T23:34:00.001-08:002011-02-04T23:34:19.990-08:00Cerita Bintang<div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Pernah suatu kali ada seorang gadis kecil yang sudah yatim piatu. Dia begitu miskin sehingga tidak punya rumah yang bisa ditinggalinya, tidak ada tempat tidur tempat dia bisa melepaskan penat, yang tertinggal di dirinya hanyalah sebuah baju yang kini dipakainya dan sedikit roti untuk mengganjal perutnya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Meski sangat miskin, tapi dia adalah gadis yang sangat baik hati dan pemurah. Karena tidak ada sanak saudara yang bisa dimintai tolong, maka dia menyerahkan nasibnya di tangan Tuhan.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Suatu hari dia berjumpa dengan seorang gelandangan tua yang kelaparan.<br />
“Nak, berilah saya makanan! Saya kelaparan!” katanya.<br />
Gadis itu memberikan semua roti yang dimilikinya dan berkata: “Semoga makanan ini bermanfaat!” lalu melanjutkan langkahnya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Tidak berapa jauh dari situ, dia melihat seorang anak sedang terisak.<br />
“Kepalaku kedinginan. Berilah aku sesuatu untuk menghangatkannya,” katanya.<br />
Gadis yang baik itu memberikan topinya tanpa ragu-ragu.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Beberapa langkah dari situ, seorang anak menggigil di tengah cuaca dingin dan hampir jatuh pingsan, maka gadis itu memberikan jaketnya dan membiarkan tubuhnya sendiri menggigil kedinginan.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Lalu seorang anak di ujung jalan memintanya memberikan rok yang dipakainya untuk membungkus badannya. Dan gadis pemurah itu memberikannya tanpa pikir panjang.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Sore pun tiba. Matahari sudah hampir tenggelam ketika si gadis tiba di sebuah hutan kecil dan seorang anak kecil meminta baju yang dipakainya. Gadis itu berpikir: “Malam akan segera datang dan aku akan berada di dalam hutan yang gelap. Jika aku telanjang pun tidak akan ada orang yang melihatnya.” Maka dengan senang hati dia memberikan bajunya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Kini tidak ada selembar benang pun yang melekat di badan gadis itu. Di dalam hutan yang lebat dan di tengah malam yang gelap, gadis itu memeluk dirinya sendiri untuk mengusir dingin.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Tuhan yang Maha Baik menunjuk beberapa bintang di langit untuk turun ke bumi dan menyelimuti gadis itu dengan cahayanya. Cahaya bintang itu berubah menjadi pakaian yang indah. Lalu bintang-bintang itu berubah menjadi kepingan emas dan gadis kecil itu menyelipkan kepingan emas tersebut di baju barunya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Kini gadis yang baik hati itu, memiliki kepingan emas untuk bekal hidupnya.</div>kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-33174413097074960482011-02-04T23:33:00.002-08:002011-02-04T23:33:41.881-08:00Burung Pipit Berlidah Pendek<div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Jaman dahulu kala, di Jepang tinggalah sepasang kakek dan nenek. Kakek adalah seorang yang sangat baik hati dan pekerja keras. Sebaliknya nenek adalah seorang penggerutu dan senang mencaci maki, sikapnya juga kasar dan buruk. Itulah sebabnya kakek lebih suka menghabiskan waktunya dengan bekerja di ladang dari pagi hingga petang. Mereka tidak dikaruniai anak, tapi kakek memiliki seekor burung pipit yang selalu menghiburnya. Dia sangat cantik dan diberi nama Suzume. Kakek sangat menyayanginya. Setiap petang sepulangnya dari ladang, kakek akan membuka kandang Suzume, membiarkannya terbang di dalam rumah, lalu mengajaknya bermain, berbicara, dan mengajarinya trik-trik yang dengan cepat dipelajarinya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Suatu hari, saat kakek pergi bekerja, nenek mulai membereskan rumah. Kemarin nenek sudah menyiapkan bubur tepung beras untuk melicinkan pakaian yang sudah dicuci. Bubur itu disimpannya di atas meja. Tapi kini mangkuk buburnya telah kosong. Rupanya kakek lupa menutup kandang Suzume, sehingga dia terbang di sepanjang rumah dan memakan bubur tepung beras nenek. Saat si nenek kebingungan mencari siapa yang menghabiskan buburnya, Suzume terbang menghampiri nenek. Dia membungkuk memberi hormat lalu kicaunya:<br />
"Sayalah yang memakan bubur tepung beras nenek. Saya pikir itu adalah makanan untukku. Saya mohon maafkanlah saya. Twit! Twit! Twit!"<br />
Nenek sangat marah mendengar pengakuan si burung pipit. Memang nenek tidak pernah menyukai Suzume. Baginya keberadaan Suzume hanya mengotori rumah saja. Ini adalah kesempatan si nenek untuk melampiaskan kemarahannya. Maka keluarlah cacian dari mulut nenek. Tidak cukup sampai disitu nenek yang kalap merenggut Suzume yang malang dan memotong lidahnya hingga putus.<br />
"Ini adalah pelajaran buatmu!" kata nenek, "karena dengan lidah ini kamu memakan bubur tepung berasku! Sekarang pergilah dari sini! Aku tak mau melihatmu lagi!"<br />
Suzume hanya bisa menangis menahan sakit, dan terbang jauh ke arah hutan.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Sore harinya kakek pulang dari ladang. Seperti biasa kakek menghampiri kandang Suzume untuk mengajaknya bermain. Tapi ternyata kandang itu sudah kosong. Dicarinya Suzume di sekeliling rumah dan dipangilnya, namun Suzume tidak juga muncul. Kakek merasa yakin bahwa neneklah yang telah membuat Suzume pergi. Maka kakek pun menghampiri nenek dan bertanya:<br />
"Kemana Suzume? Kau pasti tahu dimana dia." "Burung pipitmu?" kata nenek, "Aku tidak tahu dimana dia. Aku tidak melihatnya sepanjang hari ini. Oh, mungkin dia jenis burung yang tidak tahu berterima kasih. Makanya dia kabur dan tak ingin kembali meskipun kau sangat menyayanginya."<br />
Kakek tentu saja tidak percaya dengan perkataan nenek. Dia memaksanya untuk berbicara jujur. Akhirnya nenek mengaku telah mengusir Suzume dan memotong lidahnya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Itu hukuman karena dia telah berbuat nakal" kata nenek.<br />
"Kenapa kau begitu kejam?" kata kakek. Dia sebenarnya sangat marah, tapi dia terlalu baik untuk menghukum istrinya yang kejam. Namun dia tidak bisa berhenti mengkhawatirkan Suzume yang pasti sangat menderita.<br />
"Betapa malangnya Suzume. Dia pasti kesakitan. Dan tanpa lidahnya dia mungkin tidak bisa berkicau lagi," pikir kakek.<br />
Dia bertekad untuk mencari Suzume sampai ketemu besok pagi.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Esoknya, pagi-pagi sekali kakek sudah berkemas dan bersiap pergi untuk mencari Suzume. Dia pergi ke bukit lalu ke dalam hutan. Di setiap rumpunan bambu yang ditemuinya, dia akan berhenti dan mulai memanggilnya:</div><span class="Apple-style-span" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px;"><pre>"Dimana oh dimana burung pipitku yang malang,
Dimana oh dimana burung pipitku yang malang"</pre></span><div style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Kakek terus mencari Suzume tanpa kenal lelah. Dia bahkan lupa kalau perutnya belum diisi sejak pagi. Sore harinya, sampailah kakek di rumpunan bambu yang rimbun. Dia pun mulai memanggil lagi:</div><span class="Apple-style-span" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px;"><pre>"Dimana oh dimana burung pipitku yang malang,
Dimana oh dimana burung pipitku yang malang"</pre></span><div style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><br />
</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Dari rimbunan bambu tersebut, keluarlah Suzume. Dia membungkukan kepalanya, memberi hormat pada kakek. Kakek senang sekali bisa menemukan Suzume, apalagi ternyata lidah Suzume telah tumbuh lagi sehingga dia tetap bisa berkicau. Suzume mengajak kakek untuk mampir ke rumahnya. Ternyata Suzume memiliki keluarga dan mereka tinggal di sebuah rumah seperti layaknya manusia.<br />
"Suzume pasti bukan burung biasa," pikir kakek.<br />
Kakek mengikuti Suzume memasuki rumpunan bambu. Rumah suzume ternyata sangat indah. Dindingnya terbuat dari bambu berwarna putih cerah. Karpetnya sangat lembut, bantal yang didudukinya sangat empuk dan dilapisi sutra yang sangat halus. Ruangannya sangat luas dan dihiasi ornamen-ornamen yang cantik. Kakek disuguhi berbagai makanan dan minuman yang sangat lezat, juga tarian burung pipit yang sangat menakjubkan. Kakek juga diperkenalkan kepada seluruh anggota keluarga Suzume. Mereka semua sangat berterima kasih pada kakek yang telah merawat Suzume dengan baik. Sebaliknya kakek pun memohon maaf atas perlakuan istrinya yang kejam terhadap Suzume.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Waktu berlalu tanpa terasa. Malam pun semakin larut. Akhirnya kakek meminta diri dan berterima kasih atas sambutan keluarga Suzume yang hangat. Suzume memohon supaya kakek menginap satu atau dua malam, namun kakek bersikeras untuk pulang karena pasti nenek kebingungan mencarinya. Kakek berjanji akan sering-sering menunjungi suzume lain waktu. Sebelum pulang Suzume memaksa kakek untuk memilih kotak hadiah untuk dibawanya pulang. Ada dua buah kotak yang ditawarkan. Satu kecil dan satu lagi besar. Kakek memilih kotak kecil.<br />
"Aku sudah tua dan lemah," katanya. "Aku tidak akan kuat jika harus membawa kotak yang besar."<br />
Suzume dan keluarganya mengantarkan kakek sampai keluar dari rumpunan bambu dan sekali lagi membungkukan kepalanya memberi hormat.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Setibanya di rumah, nenek langsung mencecarnya:<br />
"Kemana saja seharian? Kenapa begitu malam baru pulang?" tanyanya.<br />
Kakek mencoba menenangkannya dan memperlihatkan kotak yang didapatnya dari Suzume. Kakek juga menceritakan pertemuannya dengan Suzume.<br />
"Baiklah!" kata nenek. "Sekarang cepat buka kotak itu! Kita lihat apa isinya." Maka mereka lalu membuka kotak itu bersama-sama. Betapa terkejutnya mereka, ternyata kotak itu penuh berisi uang emas, perak dan perhiasan-perhiasan yang sangat indah. Kakek mengucap syukur berkali-kali atas anugrah itu. Tapi nenek yang serakah malah memarahi kakek karena tidak memilih kotak yang besar.<br />
"Kalau kotak yang kecil saja isinya bisa sebayak ini apalagi kotak yang besar," teriaknya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Esok paginya setelah memaksa kakek untuk menunjukkan jalan ke tempat Suzume, nenek pergi dengan penuh semangat. Kakek mencoba melarangnya, namun sia-sia saja. Setelah melewati bukit dan masuk ke dalam hutan, sampailah si nenek di tepi rimbunan bambu, maka dia pun mulai memanggil:</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;">"Dimana oh dimana burung pipitku yang malang, Dimana oh dimana burung pipitku yang malang"</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Suzume pun keluar dari rimbunan bambu dan membungkukan kepalanya ke arah nenek. Tanpa membuang waktu dan tanpa malu nenek berkata:<br />
"Saya tidak akan membuang waktumu. Aku datang kesini hanya untuk meminta kotak yang kemarin ditolak oleh kakek. Setelah itu aku akan pergi."<br />
Suzume memberikan kotak yang diminta, dan tanpa mengucapkan terima kasih, nenek segera meninggalkan tempat itu.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Kotak itu sangat berat. Dengan terseok-seok nenek memanggulnya. Semakin lama kotak itu semakin berat, seolah-olah berisi ribuan batu. "Kotak ini pasti berisi harta karun yang sangat banyak," pikir nenek. Dia sudah tidak sabar ingin mengetahui isi kotak tersebut. Maka dia menurunkan kotak itu dari punggungnya dan lalu membukanya. Wush!!! Dari dalam kotak itu keluar ribuan makhluk yang menyeramkan dan mengejar nenek yang langsung lari terbirit-birit. Beruntung nenek bisa sampai di rumahnya meski jantungnya serasa mau putus. Kepada kakek dia menceritakan apa yang dialaminya.<br />
"Itulah hukuman bagi orang yang serakah," kata kakek. "Semoga ini menjadi pelajaran buatmu."<br />
Sejak saat itu nenek tidak pernah lagi mengeluarkan kata-kata kasar dan selalu berlaku baik pada orang lain. Dan mereka berdua hidup bahagia selamanya.</div>kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-23652909364821108852011-02-04T23:33:00.000-08:002011-02-04T23:33:07.899-08:00Bunga Cheri<div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Di suatu puri, hiduplah seorang bangsawan dengan putri tunggalnya yang jelita, bernama Manuella. Orang-orang biasa memanggilnya Putri Manu. Sejak kecil Manuella tidak memiliki ibu lagi. Ayahnya sangat menyayanginya. Segala keinginan Manuella selalu dipenuhi. Ini membuat Manuella menjadi sangat manja. Semua yang ia inginkan harus ia dapatkan. Dan ayahnya belum pernah menolak keinginan Manuella. Malah selalu segera mengabulkannya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Salah satu kegemaran Manuella adalah berganti-ganti pakaian. Dalam satu hari ia dapat berganti pakaian empat sampai lima kali. Di kamarnya terdapat enam lemari pakaian yang indah. Namun ia belum merasa puas.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Ayah, lemari pakaian Manu telah penuh. Buatkan lemari pakaian yang baru dan besar ya," pintanya pada suatu hari.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Tentu anakku. Ayah akan segera memanggil tukang kayu terpandai di negeri ini. Dan menyuruhnya membuat lemari pakaian di sepanjang lantai atas puri ini."</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Oh Ayah! Manu tidak sabar menunggu lemari itu selesai. Dan mengisinya dengan pakaian-pakaian yang indah…"<br />
<img border="0" height="2" src="file:///C:/DOCUME~1/RATUBA~1/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg" style="border-bottom-style: none; border-color: initial; border-left-style: none; border-right-style: none; border-top-style: none; border-width: initial;" width="40" /></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Ayahnya tertawa sambil memeluk Manuella dengan penuh kasih sayang. Dibelainya rambut anaknya yang berwarna keemasan. Begitulah kehidupan Manuella dari tahun ke tahun.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Pada suatu hari di musim semi, ayahnya berteriak-teriak memanggil Manuella. "Manuella, kemari, Nak! Ayah ingin berbicara denganmu."<br />
<img border="0" height="2" src="file:///C:/DOCUME~1/RATUBA~1/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg" style="border-bottom-style: none; border-color: initial; border-left-style: none; border-right-style: none; border-top-style: none; border-width: initial;" width="40" /></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Seminggu lagi hari ulang tahun Manuella yang ke 17. Ayahnya akan mengadakan pesta besar untuknya. Anak-anak bangsawan dari berbagai negeri akan diundangnya. Mendengar hal itu Manuella menari-nari gembira.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Ayah, di pesta itu Manu ingin memakai gaun terindah. Dan ingin menjadi putri tercantik di dunia."</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Anakku, kaulah putri tercantik yang pernah Ayah lihat! Ayah akan segera mendatangkan para penjual kain. Juga memanggil penjahit terkenal untuk merancang gaun yang terindah untukmu…"</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Keesokan harinya datanglah para penjual kain dari berbagai negara. Mereka membawa kain-kain yang terindah. Manuella sangat gembira. Setelah memilih-milih, ia menemukan selembar kain sutera putih, seputih salju. Sangat halus dan indah luar biasa. Seorang penjahit yang terkenal segera merancang, mengukur dan menjahit gaun yang sesuai dengan keinginan Manuella. Manuella sangat puas melihat gaun barunya. Segera dikenakannya gaun itu, lalu menari-nari di depan kaca. Rambutnya yang panjang terurai keemasan…</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Hm, kau sungguh putri tercantik di dunia. Setiap tamu akan kagum padamu nanti," gumam Manuella sambil meneliti apa lagi yang kurang pada penampilannya. Tiba-tiba ia sadar, tidak ada hiasan di kepalanya. Ia segera mencari ayahnya,</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Ayah, Manu perlu hiasan untuk rambut Manu…."</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Anakku, kenakan saja mahkota emasmu. Cocok dengan rambutmu yang keemasan," kata ayahnya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Akh, Manu bosan ayah.." jawab Manuella.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Bagaimana kalau mahkota berlian? Ayah akan segera memesannya jika kau mau," bujuk ayahnya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Tidak, tidak! semua itu tidak cocok dengan baju dan rambut Manu" teriak Manuella.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Oh..anakku..mutiara yang dikenakan ibumu ketika ia menikah dengan ayah sangat indah, kau boleh memakainya nak…ayah ambilkan ya…"kata ayahnya dengan sabar.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Tidak. Manu ingin yang lain yang terindah," katanya sambil berlari menuju halaman.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Manuella, kembali anakku, sebentar lagi akan datang tamu-tamu kita" teriak ayahnya. Tapi Manuella tak mau mendengar ayahnya, ia berlari ke halaman yang dipenuhi dengan pohon-pohon cheri, dimana bunga-bunganya yang putih bersih memenuhi setiap ranting-rantingnya, sehingga cabang dan rantingnya yang berwarna cokelat hampir tak tampak lagi.<br />
<img border="0" height="2" src="file:///C:/DOCUME~1/RATUBA~1/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg" style="border-bottom-style: none; border-color: initial; border-left-style: none; border-right-style: none; border-top-style: none; border-width: initial;" width="40" /></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Manuella berlari dari satu pohon ke pohon yang lain, dan tiba-tiba ia berpikir "Betapa indahnya bunga-bunga cheri ini, aku ingin merangkainya menjadi mahkotaku." Ketika tangannya akan meraih sebuah bunga, terdengarlah suara yang halus.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Jangan sentuh kami, jauhilah kami. Kalau tidak, kami akan mengubahmu menjadi bunga!" Manuella menoleh ke kiri dan ke kanan, tapi ia tak melihat seorang pun. Ia berlari ke sebuah pohon yang lain, dan ketika ia akan memetik bunganya, terdengar lagi suara yang sama.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Dengan penuh kejengkelan berteriaklah Manuella sambil memandang pohon itu, "Hai, dengar! Tak ada seorang pun di negeri ini yang dapat melarangku, dan semua orang di negeri ini tahu, segala keinginanku harus terpenuhi! Siapa yang berani melarangku?"<br />
<img border="0" height="2" src="file:///C:/DOCUME~1/RATUBA~1/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg" style="border-bottom-style: none; border-color: initial; border-left-style: none; border-right-style: none; border-top-style: none; border-width: initial;" width="40" /></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Tiba-tiba bertiuplah angin dan bersamaan dengan itu terdengarlah suara yang halus. "Dengar Manuella, tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa mendapatkan segala yang diinginkannya. Tidak juga kau…"</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Bohong, bohong, selama ini segala keinginanku selalu dipenuhi, dan sekarang aku akan memetik bunga-bunga ini untuk mahkotaku, dan tak seorang pun berhak melarangku" teriak Manuella sambil menendang pohon-pohon disekitarnya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Kau akan menyesal Manuella, jika tidak kau jauhi kami…"</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Dan ketika tangan Manuella menyentuh sebuah bunga, berubahlah ia menjadi bunga, di antara bunga-bunga cheri yang lain yang ada di pohon itu. Ia menangis menyesali segalanya, tapi sudah terlambat. Ia melihat tamu-tamu berdatangan. Ia mendengar suara tawa tamu-tamunya, tapi ia tak dapat ikut serta. Ia menangis dan menjerit-jerit, tapi tak seorang pun mendengarnya.<br />
<img border="0" height="2" src="file:///C:/DOCUME~1/RATUBA~1/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg" style="border-bottom-style: none; border-color: initial; border-left-style: none; border-right-style: none; border-top-style: none; border-width: initial;" width="40" /></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Hari semakin sore, lampu-lampu di seluruh puri dinyalakan, musik mulai diputar dan seluruh tamu yang diundang telah datang. Ayahnya bingung mencari Manuella diseluruh puri, kemudian ia bersama para pelayan mencari Manuella diseluruh halaman sambil berteriak.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Manuella…Manuella….dimana kau nak…." Manuella dapat mendengar suara ayahnya dan para pelayan yang berteriak-teriak memanggilnya. Ketika ia melihat ayahnya berdiri tepat di bawahnya, ia berusaha berteriak sekuat tenaga, tapi ayahnya tak dapat mendengar suaranya dan ia mulai menangis, air matanya menetes dan jatuh ke kepala ayahnya. Manuella melihat bagaimana ayahnya mengusap air yang menetes di kepalanya, dan bergumam perlahan.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Akh …mulai hujan, di mana engkau bersembunyi anakku.." Dengan menundukkan kepala ia kembali ke puri dan menyuruh seluruh pelayannya kembali karena dipikirnya sebentar lagi akan turun hujan.<br />
<img border="0" height="2" src="file:///C:/DOCUME~1/RATUBA~1/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg" style="border-bottom-style: none; border-color: initial; border-left-style: none; border-right-style: none; border-top-style: none; border-width: initial;" width="40" /></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Setelah tamu terakhir meninggalkan puri, dan musik dihentikan, sang ayah diam termangu di depan jendela. Lampu-lampu puri dibiarkan menyala semua, karena ia berpikir anaknya akan kembali dan ia akan dapat dengan mudah melihat jalan menuju puri. </div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" class="MsoNormal" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Anakku, diluar dingin. Dimana engkau nak…kembalilah anakku. Ayah sangat kuatir" gumam ayahnya seorang diri dengan sedih. Tiba-tiba bertiuplah angin yang membawa sura jerit Manuella "Ayah…ayah…tolong Manu ayah…tolong…"</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;">"Manuella…Manuella…di mana engkau nak, ayah datang…ayah akan segera datang nak" teriak ayahnya dengan penuh harapan. Ia segera membangunkan para pelayan untuk mencari Manuella di sekitar puri dan di seluruh halaman sekali lagi. Mereka mencari Manuella setapak demi setapak, tapi sampai pagi merekah, Manuella tak pernah ditemukan kembali.<br />
<img border="0" height="2" src="file:///C:/DOCUME~1/RATUBA~1/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg" style="border-bottom-style: none; border-color: initial; border-left-style: none; border-right-style: none; border-top-style: none; border-width: initial;" width="40" /><br />
Sang ayah telah putus asa, dan ia berhari-hari hanya duduk di depan jendela, menanti angin datang yang kadang-kadang membawa jeritan anak tercintanya. Ia yakin itu suara anaknya, tapi ia tak pernah tahu dari mana suara itu sampai akhir hayatnya.</div>kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-26476235582043870942011-02-04T23:32:00.001-08:002011-02-04T23:32:34.027-08:00Bulan Yang Iri Hati<div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Langit ditaburi bintang dan bulan yang bersinar indah. Senang sekali rasanya melihat keindahan malam dari ketinggian. Alam di bawah tampak sunyi. Hampir di setiap beranda rumah, tampak orang duduk-duduk. Mereka memandang ke langit.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Bulan merasa senang, lalu katanya kepada bintang-bintang,"Lihat, teman-teman. Mereka mengagumiku." "Mengagumimu? Belum tentu. Mungkin mereka mengagumi kami," kata sebuah bintang. "Tapi dari bawah, aku kelihatan lebih besar dan indah!" sahut Bulan. "Huh, sombong!" sungut sebuah bintang pada teman-temannya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Dia boleh saja sombong. Tapi, dia tak kan dapat mengalahkan Matahari," kata bintang yang lain. "Apa?" sahut Bulan terkejut. "Ya, kau tak bisa mengalahkan Matahari. Karena Matahari lebih banyak penggemarnya. Pagi hari, saat Matahari terbit, orang-orang ingin menyaksikannya. Waktu Matahari naik, orang-orang berjemur untuk kesehatan. Selain disukai, Matahari pun disegani. Walaupun ia bersinar terik, orang-orang tidak mengumpat. Mereka hanya mencari tempat yang teduh. Matahari mempunyai jasa yang besar, mengeringkan jutaan pakaian yang dicuci orang. Terus terang, kami pun lebih menyukai Matahari karena ia hebat," kata sebuah bintang.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Tidak sombong lagi!" sahut bintang yang lain. Bulan diam. Ia sangat kesal. Betulkah Matahari sehebat itu? Sepanjang malam ia tak bisa tenang. Ia terus berpikir bagaimana mengalahkan Matahari. Akhirnya Bulan mendapat akal. Pagi datang. Matahari segera menghampiri bulan.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Selamat pagi, Bulan. Sudah saatnya aku bekerja. Sekarang kau boleh beristirahat." "Tidak!" "Lo, kenapa?" tanya Matahari heran. "Aku pun ingin bekerja pada siang hari," sahut Bulan. "Bulan, siang hari akulah yang bertugas. Kau harus beristirahat supaya bisa tampil segara malam nanti," kata Matahari. "Tidak! Sebenarnya aku ingin bertarung denganmu," kata Bulan. "Bertarung? Bertarung bagaimana?" Matahari makin bingung. "Bintang-bintang mengatakan kau lebih hebat dariku. Aku ingin lihat, apa benar kau lebih hebat?" "Bagaimana caranya?" tanya Matahari.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Aku akan tetap tinggal di sini bersamamu. Lalu kita lihat, siapa yang lebih disukai orang-orang," kata Bulan. "Ha ha ha," Matahari tertawa geli. "Bulan, di pagi hari kau tak kan terlihat. Sinarku lebih kuat dari sinarmu. Jadi apa gunanya?"</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Bulan tidak peduli. Ia ingin tetap tinggal bersama Mathari. Tetapi, kemudian ia kecewa. Sepanjang hari ia di sana, tak seorang pun menyapanya. Mereka hanya menyapa Matahari. "Hu hu, tak seorang pun menyukaiku. Bintang-bintang benar, Matahari lebih hebat dariku," Bulan menangis sedih.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">"Benar 'kan Matahari lebih hebat," kata bintang-bintang yang mengelilinginya. "sekarang beristirahatlah, Bulan. Malam segera tiba." "Tidak, aku tidak mau! Tak seorang pun menyukaiku. Apa gunanya aku ada di sana?" sahut Bulan sedih. "Bulan, dengarlah! Matahari itu tak sehebat yang kau kira. Tapi, kami senang pada Matahari. Karena ia tidak sombong. Kami pun senang padamu, asalkan kau tak sombong. Sebenarnya kau dan Matahari tak bisa dibandingkan. Masing-masing punya kelebihan. Sudahlah, jangan menangis lagi," hibur sebuah Bintang pada Bulan.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;"></div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Bulan berhenti menangis. Benar apa yang dikatakan Bintang. Ia tak boleh sombong. "Bulan, coba lihat!" kata sebuah bintang. Di bawah, sekelompok anak melambai-lambaikan tangan. "Ya, mereka menginginkan kau menerangi tempat itu. "Tapi uaaaah...." Bulan menguap. "Bulan mengantuk karena sepanjang siang tidak tidur. Biarlah untuk malam ini ia istirahat," kata bintang-bintang.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Malam itu Bulan tidak bekerja. Ia tertidur dengan nyenyak. Biarlah malam itu langit tak dihiasi Bulan. Yang penting, Bulan telah menyadari kesalahannya. Ia tak lagi sombong dan tetap hadir setiap malam.</div>kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-41649607650770713502011-02-04T23:31:00.001-08:002011-02-04T23:31:57.911-08:00Bawang Merah & Bawang Putih<div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikahi saja ibu Bawang merah supaya Bawang putih tidak kesepian lagi. Maka ayah Bawang putih kemudian menikah dengan ibu Bawang merah. Mulanya ibu Bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada Bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwa salah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.<br />
“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi. Matahari sudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya harus menemukan dan membawanya pulang.”<br />
“Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu.<br />
“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri tepi sungai.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; text-align: left;">Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.<br />
“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.<br />
“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.<br />
“Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang putih.<br />
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.<br />
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.<br />
“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek.<br />
Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa iba.<br />
“Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak bosan saja denganku,” kata Bawang putih dengan tersenyum.</div><div style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><br />
</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil bawang putih.<br />
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek.<br />
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.</div><div align="justify" style="-webkit-border-horizontal-spacing: 2px; -webkit-border-vertical-spacing: 2px; color: #333333; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 15px; margin-bottom: 5px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan bagi orang yang serakah.</div>kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-10802453992487206512011-02-02T21:39:00.000-08:002011-02-02T21:39:32.820-08:00PIGLET<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYHG0ISa650AJmeE8owLIrMdQmFIW5DHhzvFqZ0pXiBwVQdHqTJI9ayipM3nv9uejksY3G2EniPohEv7sTngWu3ikey82jDu8fytS7juQB-UhnnVDMTzFP1p2UPtcRhoJcSEJnaZNmFNcC/s1600/piglet+%25281%2529.gif" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="244" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYHG0ISa650AJmeE8owLIrMdQmFIW5DHhzvFqZ0pXiBwVQdHqTJI9ayipM3nv9uejksY3G2EniPohEv7sTngWu3ikey82jDu8fytS7juQB-UhnnVDMTzFP1p2UPtcRhoJcSEJnaZNmFNcC/s320/piglet+%25281%2529.gif" width="320" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkb6msrtz6UqIJY4c1oRDgFFYHIw5xF35RE75_bFrSFde0onM5WMmHH-lMsjqxhMTPtcd9i_sY26jyOOdCERrU6GfHpJsMWGIiELaFH7w4mwZoR3F8QJgFONnT-d7p2BVaV2w9yxrDXLAx/s1600/Pigletdisney.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkb6msrtz6UqIJY4c1oRDgFFYHIw5xF35RE75_bFrSFde0onM5WMmHH-lMsjqxhMTPtcd9i_sY26jyOOdCERrU6GfHpJsMWGIiELaFH7w4mwZoR3F8QJgFONnT-d7p2BVaV2w9yxrDXLAx/s320/Pigletdisney.jpg" width="265" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br />
</div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixOkCC8u9khnAfsigcu7Uf4vZmUJzM56ID5BqyP94Ub390SQ6xNI1QzcqhIW_bUHj0bqUdYwMrdx3ymLxNS_Ozg1MSFSQ4TIlJbvr5Eb1o32lKmsPg32qIpq7hMt1PyL8aJB3z5gQKdFY5/s1600/Piglet-disney-237038_1024_768.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixOkCC8u9khnAfsigcu7Uf4vZmUJzM56ID5BqyP94Ub390SQ6xNI1QzcqhIW_bUHj0bqUdYwMrdx3ymLxNS_Ozg1MSFSQ4TIlJbvr5Eb1o32lKmsPg32qIpq7hMt1PyL8aJB3z5gQKdFY5/s320/Piglet-disney-237038_1024_768.jpg" width="320" /></a><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br />
</div><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh2sgITMD4qslfEhidCSUQfYPF_FX3V-v4C3AafPf4kQP2r_u2__-Co00i2oJ9G3lcZyPic19XxnMVCvfVGdNe6Zu5c7jDu_7JnQcnYJza7VQtAOGbbcC1m6H4oOREpLpmmIPYvXBVTEbAr/s1600/Winnie-the-Pooh-Piglet-018.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh2sgITMD4qslfEhidCSUQfYPF_FX3V-v4C3AafPf4kQP2r_u2__-Co00i2oJ9G3lcZyPic19XxnMVCvfVGdNe6Zu5c7jDu_7JnQcnYJza7VQtAOGbbcC1m6H4oOREpLpmmIPYvXBVTEbAr/s320/Winnie-the-Pooh-Piglet-018.jpg" width="287" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br />
</div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBjjsfknOoB91DN-PjRJ5UUcM14URIP7_B0GiXfv4tuidVU2w01w6Uh1yls3pR4nT6iFHCdrq-7MaYdx0JktkjrzBJf2RlzkkzMCJQx_EjVU3ddhuG-YUD-8YMks2ia5UNYjjV-4eqpZ2c/s1600/Easter-Piglet-Egg.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBjjsfknOoB91DN-PjRJ5UUcM14URIP7_B0GiXfv4tuidVU2w01w6Uh1yls3pR4nT6iFHCdrq-7MaYdx0JktkjrzBJf2RlzkkzMCJQx_EjVU3ddhuG-YUD-8YMks2ia5UNYjjV-4eqpZ2c/s320/Easter-Piglet-Egg.jpg" width="241" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br />
</div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmWHbhozGgDS2OHGOJUTdLiLrMCPt2m7GBi1jRk-F_AmSQH4ePtcNShmzHGTAR19ylQsGV8Wyyo8t3Gz3I2VZvo7q-AuVsJPtL56RD_24Bo6a5J9XkZ6sN0yAG1i58CHP2itOL6Hc9VgUb/s1600/Piglet-disney-237039_1024_768.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmWHbhozGgDS2OHGOJUTdLiLrMCPt2m7GBi1jRk-F_AmSQH4ePtcNShmzHGTAR19ylQsGV8Wyyo8t3Gz3I2VZvo7q-AuVsJPtL56RD_24Bo6a5J9XkZ6sN0yAG1i58CHP2itOL6Hc9VgUb/s320/Piglet-disney-237039_1024_768.jpg" width="320" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRKb8SyZ-s8mrJcTiKNzGqm4l5mLWTnKMXDouzcJ1HEDyL1r26aDN9eBRkzPa3BjV0CRX-TXoyunqhmbcvs8OOvqDMfnY8Bf6tRGfPBzDVWMlylT3SyDhTwqg1czuyn2v3aDe-TPG1JCs8/s1600/images.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRKb8SyZ-s8mrJcTiKNzGqm4l5mLWTnKMXDouzcJ1HEDyL1r26aDN9eBRkzPa3BjV0CRX-TXoyunqhmbcvs8OOvqDMfnY8Bf6tRGfPBzDVWMlylT3SyDhTwqg1czuyn2v3aDe-TPG1JCs8/s320/images.jpg" width="225" /></a></div>kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-44569442227532429042011-02-02T20:15:00.002-08:002011-02-02T20:15:38.194-08:00Balas Budi Burung BangauDahulu kala di suatu tempat di Jepang, hidup seorang pemuda bernama Yosaku. Kerjanya mengambil kayu bakar di gunung dan menjualnya ke kota. Uang hasil penjualan dibelikannya makanan. Terus seperti itu setiap harinya. Hingga pada suatu hari ketika ia berjalan pulang dari kota ia melihat sesuatu yang menggelepar di atas salju. Setelah di dekatinya ternyata seekor burung bangau yang terjerat diperangkap sedang meronta-ronta. Yosaku segera melepaskan perangkat itu. Bangau itu sangat gembira, ia berputar-putar di atas kepala Yosaku beberapa kali sebelum terbang ke angkasa. Karena cuaca yang sangat dingin, sesampainya dirumah, Yosaku segera menyalakan tungku api dan menyiapkan makan malam. Saat itu terdengar suara ketukan pintu di luar rumah.<br />
Ketika pintu dibuka, tampak seorang gadis yang cantik sedang berdiri di depan pintu. Kepalanya dipenuhi dengan salju. "Masuklah, nona pasti kedinginan, silahkan hangatkan badanmu dekat tungku," ujar Yosaku. "Nona mau pergi kemana sebenarnya ?", Tanya Yosaku. "Aku bermaksud mengunjungi temanku, tetapi karena salju turun dengan lebat, aku jadi tersesat." "Bolehkah aku menginap disini malam ini ?". "Boleh saja Nona, tapi aku ini orang miskin, tak punya kasur dan makanan." ,kata Yosaku. "Tidak apa-apa, aku hanya ingin diperbolehkan menginap". Kemudian gadis itu merapikan kamarnya dan memasak makanan yang enak.<br />
Ketika terbangun keesokan harinya, gadis itu sudah menyiapkan nasi. Yosaku berpikir bahwa gadis itu akan segera pergi, ia merasa kesepian. Salju masih turun dengan lebatnya. "Tinggallah disini sampai salju reda." Setelah lima hari berlalu salju mereda. Gadis itu berkata kepada Yosaku, "Jadikan aku sebagai istrimu, dan biarkan aku tinggal terus di rumah ini." Yosaku merasa bahagia menerima permintaan itu. "Mulai hari ini panggillah aku Otsuru", ujar si gadis. Setelah menjadi Istri Yosaku, Otsuru mengerjakan pekerjaan rumah dengan sungguh-sungguh. Suatu hari, Otsuru meminta suaminya, Yosaku, membelikannya benang karena ia ingin menenun.<br />
Otsuru mulai menenun. Ia berpesan kepada suaminya agar jangan sekali-kali mengintip ke dalam penyekat tempat Otsuru menenun. Setelah tiga hari berturut-turut menenun tanpa makan dan minum, Otsuru keluar. Kain tenunannya sudah selesai. "Ini tenunan ayanishiki. Kalau dibawa ke kota pasti akan terjual dengan harga mahal. Yosaku sangat senang karena kain tenunannya dibeli orang dengan harga yang cukup mahal. Sebelum pulang ia membeli bermacam-macam barang untuk dibawa pulang. "Berkat kamu, aku mendapatkan uang sebanyak ini, terima kasih istriku. Tetapi sebenarnya para saudagar di kota menginginkan kain seperti itu lebih banyak lagi. "Baiklah akan aku buatkan", ujar Otsuru. Kain itu selesai pada hari keempat setelah Otsuru menenun. Tetapi tampak Otsuru tidak sehat, dan tubuhnya menjadi kurus. Otsuru meminta suaminya untuk tidak memintanya menenun lagi.<br />
Di kota, Sang Saudagar minta dibuatkan kain satu lagi untuk Kimono tuan Putri. Jika tidak ada maka Yosaku akan dipenggal lehernya. Hal itu diceritakan Yosaku pada istrinya. "Baiklah akan ku buatkan lagi, tetapi hanya satu helai ya", kata Otsuru.<br />
Karena cemas dengan kondisi istrinya yang makin lemah dan kurus setiap habis menenun, Yosaku berkeinginan melihat ke dalam ruangan tenun. Tetapi ia sangat terkejut ketika yang dilihatnya di dalam ruang menenun, ternyata seekor bangau sedang mencabuti bulunya untuk ditenun menjadi kain. Sehingga badan bangau itu hampir gundul kehabisan bulu. Bangau itu akhirnya sadar dirinya sedang diperhatikan oleh Yosaku, bangau itu pun berubah wujud kembali menjadi Otsuru. "Akhirnya kau melihatnya juga", ujar Otsuru.<br />
"Sebenarnya aku adalah seekor bangau yang dahulu pernah Kau tolong", untuk membalas budi aku berubah wujud menjadi manusia dan melakukan hal ini," ujar Otsuru. "Berarti sudah saatnya aku berpisah denganmu", lanjut Otsuru. "Maafkan aku, ku mohon jangan pergi," kata Yosaku. Otsuru akhirnya berubah kembali menjadi seekor bangau. Kemudian ia segera mengepakkan sayapnya terabng keluar dari rumah ke angkasa. Tinggallah Yosaku sendiri yang menyesali perbuatannya.kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-76675132176622517832011-02-02T20:15:00.000-08:002011-02-02T20:15:08.697-08:00Anggrek Hitam Untuk DomiaGong dari rumah panjang menggelagar bertalu-talu. Penduduk kampung Tebelianmangkang sudah tahu. Jika gong ditabuh, berarti ada keadaan genting. Merekapun bergegas mendatangi rumah itu.<br />
Rupanya, seorang wanita bernama Darahitam akan melahirkan bayi. Namun bayinya tak juga mau keluar. Darahitam sangat khawatir. Sebelumnya, sudah dua kali bayinya meninggal. Sambil kesakitan ia berdoa dan bernazar,<br />
"Jubata, tolonglah agar anakku lahir dengan selamat. Lelaki atau perempuan, anak ini akan kupersembahkan menjadi pelayanmu!" <br />
<br />
Jubata adalah dewa tertinggi suku Dayak. Jubata adalah perantara antara manusia dan Tuhan. Darahitam yakin Jubata akan menolongnya. Dan…<br />
"Hoa, hoa, hoa …" suara tangis bayi memecah keheningan. <br />
<br />
Seluruh penduduk desa menyambut gembira. "Ia lahir dengan selamat! Bayi yang cantik! Kulitnya bersih. Hidungnya mancung. Alisnya tebal. Bulu matanya lentik," seru para wanita.<br />
Karena sangat cantik, bayi perempuan itu dinamakan Domia. Dalam bahasa Dayak, Domia berarti dewi.<br />
Seperti ramalan banyak orang, Domia tumbuh menjadi gadis jelita. Banyak pria yang melamarnya. Namun Domia menolaknya. Sebab ia terikat nazar ibunya pada Jubata. Domia ditakdirkan menjadi pelayan Tuhan, atau imam wanita. Seorang imam tak boleh menikah. Tak seorang pun bisa membatalkan nazarnya. Kecuali Jubata sendiri yang mencabutnya. <br />
<br />
Meskipun demikian, Domia jatuh cinta pada pemuda bernama Ikot Rinding. Pemuda itupun mencintai Domia. Namun Ikot Rinding heran. Karena Domia tak mau menikah dengannya.<br />
Suatu hari yang panas, pergilah Ikot Rinding memancing. Namun, karena tak ada seekor ikanpun yang didapatnya, ia lalu pergi ke hulu sungai. Di tengah jalan, Ikot Rinding terhenti! Ia melihat Domia sedang mencuci pakaian. Pemuda itu langsung menghampiri gadis pujaan hatinya.<br />
"Domia, mengapa kau tak mau menjadi istriku?" tanya Ikot Rinding. <br />
<br />
Mendengar pertanyaan itu, Domia terkejut. Gadis cantik itu akhirnya berterus terang. Ia bercerita tentang nazar ibunya pada Jubata ketika melahirkannya. Betapa sedih hati Ikot Rinding mendengar cerita itu. Ia tahu, nazar pada Jubata hanya bisa dibatalkan oleh Jubata sendiri. Tapi… kemana ia harus mencari Jubata?<br />
Karena cintanya pada Domia, Ikot Rinding pun mengembara. Siang berganti malam. Malam menjelang pagi. Setelah enam hari mengembara, sampailah ia di Bukit Sungkung. Ikot Rinding beristirahat dan tertidur pulas di bawah pohon rindang. Begitu bangun, hari sudah pagi. Berarti ini hari ketujuh pengembaraanya mencari Jubata.<br />
Ketika akan melangkah pergi, Ikot Rinding terkejut. Ia melihat sebuah sumpit tergeletak di tanah. Di hutan belantara tak berpenghuni ini ada sumpit? Dari mana asalnya? Ikot Rinding segera memungutnya. Di hutan belantara seperti ini, sumpit tentu sangat berguna, pikirnya.<br />
Ikot Rinding meneruskan pengembaraanya. Ketika melintasi sebongkah batu, ia tiba-tiba teringat pada nasihat ibunya. Ketika masih kecil, saat menemani ibunya menyikat pakaian di atas batu, ibunya selalu berkata, "Jangan sekali-kali mengambil barang orang lain tanpa izin!"<br />
Seketika Ikot Rinding berbalik, meletakkan sumpit itu ke tempat semula. Sumpit itu bukan miliknya. Mungkin milik pemburu yang lewat di daerah itu. <br />
<br />
Maka Ikot Rinding pun meneruskan perjalanannya mencari Jubata. Badannya lelah. Ia merasa lapar dan dahaga. Tapi begitu ingat akan Domia, ia menjadi bersemangat kembali. Tiba-tiba ia mendengar suara desisan. Sekelebat melintas seekor ular tedung. Ia berhenti di depan Ikot Rinding. Lidahnya kecil panjang bercabang. Badannya yang tadi melingkar, ditegakkan. <br />
<br />
Ikot Rinding sadar ia harus waspada. Tangan kanannya kini meraih ranting. Diputar-putarnya ranting itu. Lalu dengan cepat tangan kirinya menyambar leher si ular tedung. Ular itu rupanya terpedaya oleh gerak tipunya. Dilemparnya ular tedung itu jauh ke tepi jurang.<br />
Usai pertistiwa itu, terdengarlah langkah kaki. Rupanya ada orang yang menonton perkelahian Ikot Rinding melawan ular tedung. Semula Ikot Rinding curiga. Namun wajah pemuda itu tampak ramah.<br />
"Aku Salampandai, putra bungsu raja hutan di sini," ujarnya. Salampandai bercerita, sudah dua hari ia berburu. Namun tak berhasil menangkap apapun. Ini gara-gara senjatanya hilang. Ia juga bercerita bahwa ayahnya menyuruhnya rajin berlatih menyumpit. Terutama menyumpit binatang liar yang bergerak cepat.<br />
Sekarang Ikot Rinding tahu siapa pemilik sumpit yang ditemukannya tadi. Ia mengajak Salampandai ke tempat sumpit itu. Benda itu masih ada di sana. <br />
<br />
Karena gembira, Salampandai mengundang Ikot Rinding bermalam di rumahnya. Ia ingin mengenalkan sahabat barunya kepada keluarganya. Bahkan, ia pun ingin menjadikan Ikot Rinding saudara angkat. Walau ia sudah mempunyai enam orang kakak. <br />
<br />
Sejak itu, Ikot Rinding diizinkan tinggal di istana. Raja dan ratu sangat menyayanginya seperti anak kandung sendiri. Salam pandai dan Ikot Rinding-pun selalu bersama kemanapun mereka pergi.<br />
Suatu hari, "Jaga Si Bungsu baik-baik," pesan Raja pada Ikot Rinding dan keenam putranya saat mereka akan pergi berburu. Ikot Rinding mengangguk. Tapi enam saudara kandung Salampandai tak menjawab. Mereka tidak menyukai Ikot Rinding. Mereka merasa Ratu dan Raja hanya memperhatikan Si Bungsu dan Ikot Rinding. Mereka lalu membuat rencana mencelakakan salah satu dari Ikot Rinding atau Si Bungsu.<br />
Setibanya di hutan, mereka harus berpencar. Salampandai mendapat tempat yang agak mendaki. Dan Ikot Rinding ke tempat yang menurun. Keenam kakak Salampandai sengaja memisahkan mereka berdua. Namun ketika keenam orang itu sudah pergi, diam-diam Ikot Rinding membuntuti Salampandai. Ia tahu, keenam orang itu sengaja menyuruh Salampandai ke tempat yang berbahaya.<br />
"Berhenti! Jangan lewat gua itu!" teriak Ikot Rinding pada Si Bungsu. <br />
<br />
Ikot Rinding tahu, di gua itu hidup sekawanan kalong. Gigi dan cakar hewan-hewan itu sangat tajam. "Salampandai, tiarap!" teriak Ikot Rinding saat melihat gumpalan-gumpalan hitam keluar dari mulut gua. Tetapi terlambat. Si Bungsu kini dalam kepungan kelelawar.<br />
Dengan tangkas, Ikot Rinding mencabut mandau. Ia menebas ke segala arah. Satu persatu binatang gua itu dikalahkannya. Kini tinggal raja kelelawar yang bertubuh besar. Kali ini Ikot Rinding menggunakan sumpitnya. "FUUHH!" Hanya dengan sekali tiupan, robohlah si raja kelelawar. Si Bungsu pun selamat. <br />
<br />
Keduanya lalu pulang. Salampandai menceritakan peristiwa itu pada ayahnya. Raja sangat takjub mendengarkan cerita ketangkasan Ikot Rinding. Ia sangat bahagia karena putra kesayangannya selamat.<br />
"Mintalah apa saja yang kau inginkan," ujarnya pada Ikot Rinding. "Hari ini juga akan segera kupenuhi." <br />
<br />
Pada saat itu Ikot Rinding baru sadar. Ayah Salampandai ternyata adalah Jubata itu sendiri. Inilah saat yang diimpikan Ikot Rinding. Meski agak ragu, Ikot Rinding pun berkata, "Aku memohon bukan untuk diriku. Untuk orang lain. Sudilah kiranya Raja membebaskan Domia, dari nazar ibunya, Darahitam."<br />
Jubata ingat. Tujuh belas tahun lalu, seorang ibu bernama Darahitam kesulitan bersalin. Karena putus asa, Darahitam bernazar. Dan kini Ikot Rinding meminta agar nazar itu dilepaskan. Jubata yang bijaksana mengerti. Berbuat baik jauh lebih penting daripada memegang teguh sebuah sumpah.<br />
"Permohonanmu kukabulkan," ujarnya.<br />
"Apakah tandanya?" tanya Ikot Rinding. <br />
<br />
Melihat keraguan putra angkatnya, Raja masuk ke kamarnya. Begitu keluar, tangannya memegang setangkai anggrek hitam. Yang hanya tumbuh di halaman istana Jubata.<br />
"Inilah tandanya," sabda Jubata. Anggrek itu lalu diserahkannya pada Ikot Rinding. "Begitu Domia menerima sendiri dari uluran tanganmu, bunga ini segera berubah warna. Itulah pertanda. Bahwa nazar ibunya telah kulepaskan."<br />
Usai menerima anggrek hitam itu, Ikot Rinding bergegas meninggalkan istana. Ia telah sangat rindu pada Domia. Perjalanan panjang ditempuhnya tanpa rasa lelah. Tak terasa, tibalah ia di kampung Tebelianmangkang.<br />
Anggrek hitam ia serahkan pada Domia. "Pejamkan matamu…" pinta Ikot Rinding. Tanpa banyak bertanya, Domia menurut. "Nazar ibumu akan dilepaskan Jubata. Sebagai tanda, anggrek hitam di genggamanmu akan berubah warna."<br />
Ketika membuka kelopak matanya kembali, Domia melihat anggrek hitam telah berubah warna. Jadi butih bersih. Indah berseri bagai anggrek bulan. Domia telah terlepas dari nazar.<br />
Sepasang kekasih itu tak hentinya mengucap syukur pada Jubata. Dan keduanya hidup bahagia sampai masa tua mereka.kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-83562306544246491992011-02-02T20:14:00.001-08:002011-02-02T20:14:34.492-08:00Anak Rajin dan Pohon PengetahuanPada suatu waktu, hiduplah seorang anak yang rajin belajar. Mogu namanya. Usianya 7 tahun. Sehari-hari ia berladang. Juga mencari kayu bakar di hutan. Hidupnya sebatang kara. Mogu amat rajin membaca. Semua buku habis dilahapnya. Ia rindu akan pengetahuan.<br />
<br />
Suatu hari ia tersesat di hutan. Hari sudah gelap. Akhirnya Mogu memutuskan untuk bermalam di hutan. Ia bersandar di pohon dan jatuh tertidur.<br />
<br />
Dalam tidurnya, samar-samar Mogu mendengar suara memanggilnya. Mula-mula ia berpikir itu hanya mimpi. Namun, di saat ia terbangun, suara itu masih memanggilnya. "Anak muda, bangunlah! Siapakah engkau? Mengapa kau ada disini?" Mogu amat bingung. Darimana suara itu berasal? Ia mencoba melihat ke sekeliling. "Aku disini. Aku pohon yang kau sandari!" ujar suara itu lagi. <br />
Seketika Mogu menengok. Alangkah terkejutnya ia! Pohon yang disandarinya ternyata memiliki wajah di batangnya. <br />
"Jangan takut! Aku bukan makhluk jahat. Aku Tule, pohon pengetahuan. Nah, perkenalkan dirimu," ujar pohon itu lagi lembut.<br />
"Aku Mogu. Pencari kayu bakar. Aku tersesat, jadi terpaksa bermalam disini," jawab Mogu takut-takut. <br />
"Nak, apakah kau tertarik pada ilmu pengetahuan? Apa kau bisa menyebutkan kegunaannya bagimu?" tanya pohon itu.<br />
"Oh, ya ya, aku sangat tertarik pada ilmu pengetahuan. Aku jadi tahu banyak hal. Aku tak mudah dibodohi dan pengetahuanku kelak akan sangat berguna bagi siapa saja. Sayangnya, sumber pengetahuan di desaku amat sedikit. Sedangkan kalau harus ke kota akan membutuhkan biaya yang besar. Aku ingin sekali menambah ilmuku tapi tak tahu bagaimana caranya."<br />
<br />
"Dengarlah, Nak. Aku adalah pohon pengetahuan. Banyak sekali orang mencariku, namun tak berhasil menemukan. Hanya orang yang berjiwa bersih dan betul-betul haus akan pengetahuan yang dapat menemukanku. Kau telah lolos dari persyaratan itu. Aku akan mengajarimu berbagai pengetahuan. Bersediakah kau?" tanya si pohon lagi. Mendengar hal itu Mogu sangat girang.<br />
<br />
Sejak hari itu Mogu belajar pada pohon pengetahuan. Hari-hari berlalu dengan cepat. Mogu tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Pengetahuannya amat luas. Suatu hari pohon itu berkata, "Mogu, kini pergilah mengembara. Carilah pengalaman yang banyak. Gunakanlah pengetahuan yang kau miliki untuk membantumu. Jika ada kesulitan, kau boleh datang padaku."<br />
<br />
Mogu pun mengembara ke desa-desa. Ia memakai pengetahuannya untuk membantu orang. Memperbaiki irigasi, mengajar anak-anak membaca dan menulis... Akhirnya Mogu tiba di ibukota. Di sana ia mengikuti ujian negara. Mogu berhasil lulus dengan peringkat terbaik sepanjang abad. Raja amat kagum akan kepintarannya.<br />
Namun, ada pejabat lama yang iri terhadapnya. Pejabat Monda ini tidak senang Mogu mendapat perhatian lebih dari raja. Maka ia mencari siasat supaya Mogu tampak bodoh di hadapan raja. "Tuan, Mogu. Hari ini hamba ingin mengajukan pertanyaan. Anda harus dapat menjawabnya sekarang juga di hadapam Baginda," kata pejabat Monda.<br />
<br />
"Silakan Tuan Monda. Hamba mendengarakan," jawab Mogu.<br />
"Berapakah ukuran tinggi tubuhku?" tanyanya.<br />
"Kalau hamba tak salah, tinggi badan anda sama panjang dengan ujung jari anda yang kiri sampai ujung jari anda yang kanan bila dirintangkan," jawab Mogu tersenyum. Pejabat Monda dan raja tidak percaya. Mereka menyuruh seseorang mengukurnya. Ternyata jawaban Mogu benar. Raja kagum dibuatnya.<br />
Pejabat Monda sangat kesal, namun ia belum menyerah. "Tuan Mogu. Buatlah api tanpa menggunakan pemantik api." <br />
Dengan tenang Mogu mengeluarkan kaca cembung, lalu mengumpulkan setumpuk daun kering. Ia membuat api, menggunakan kaca yang dipantul-pantulkan ke sinar matahari. Tak lama kemudian daun kering itupun terbakar api. Raja semakin kagum. Sementara Tuan Monda semakin kesal.<br />
<br />
"Luar biasa! Baiklah! Aku punya satu pertanyaan untukmu. Aku pernah mendengar tentang pohon pengetahuan. Jika pengetahuanmu luas, kau pasti tahu dimana letak pohon itu. Bawalah aku ke sana," ujar Raja.<br />
Mogu ragu. Setelah berpikir sejenak, "Hamba tahu, Baginda. Tapi tidak boleh sembarang orang boleh menemuinya. Sebenarnya, pohon itu adalah guru hamba. Hamba bersedia mengantarkan Baginda. Tapi kita pergi berdua saja dengan berpakaian rakyat biasa. Setelah bertemu dengannya, berjanjilah Baginda takkan memberitahukanya pada siapapun," ujar Mogu serius.<br />
<br />
Raja menyanggupi. Setelah menempuh perjalanan jauh, sampailah mereka di tujuan. "Salam, Baginda. Ada keperluan apa hingga Baginda datang menemui hamba?" sapa pohon dengan tenang.<br />
"Aku ingin menjadi muridmu juga. Aku ingin menjadi raja yang paling bijaksana," kata raja kepada pohon pengetahuan. <br />
"Anda sudah cukup bijaksana. Dengarkanlah suara hati rakyat. Pahamilah perasaan mereka. Lakukan yang terbaik untuk rakyat anda. Janganlah mudah berprasangka. Selebihnya muridku akan membantumu. Waktuku sudah hampir habis. Sayang sekali pertemuan kita begitu singkat," ujar pohon pengetahuan seolah tahu ajalnya sudah dekat.<br />
Tiba-tiba Monda menyeruak bersama sejumlah pasukan. "Kau harus ajarkan aku!" teriaknya pada pohon pengetahuan.<br />
"Tidak bisa. Kau tak punya hati yang bersih."<br />
Jawaban pohon itu membuat Monda marah. Ia memerintahkan pasukannya untuk membakar pohon pengetahuan. Raja dan Mogu berusaha menghalangi namun mereka kewalahan. Walau berhasil menghancurkan pohon pengetahuan, Monda dan pengikutnya tak luput dari hukuman. Mereka tiba-tiba tewas tersambar petir. Sebelum meninggal, pohon pengetahuan memberikan Mogu sebuah buku. Dengan buku itu Mogu semakin bijaksana. Bertahun-tahun kemudian, Raja mengangkat Mogu menjadi raja baru.kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-30887067723217691902011-02-02T20:13:00.000-08:002011-02-02T20:13:01.324-08:00Alibaba dan 40 PenyamunDahulu kala, dikota Persia, hidup 2 orang bersaudara yang bernama Kasim dan Alibaba. Alibaba adalah adik Kasim yang hidupnya miskin dan tinggal didaerah pegunungan. Ia mengandalkan hidupnya dari penjualan kayu bakar yang dikumpulkannya. Berbeda dengan abangnya, Kasim, seorang yang kaya raya tetapi serakah dan tidak pernah mau memikirkan kehidupan adiknya.<br />
Suatu hari, ketika Alibaba pulang dari mengumpulkan kayu bakar, ia melihat segerombol penyamun yang berkuda. Alibaba segera bersembunyi karena takut jika ia terlihat, ia akan dibunuh. Dari tempat persembunyiannya, Alibaba memperhatikan para penyamun yang sedang sibuk menurunkan harta rampokannya dari kuda mereka. Kepala penyamun tiba-tiba berteriak, "Alakazam ! Buka…..". Pintu gua yang ada di depan mereka terbuka perlahan-lahan. Setelah itu mereka segera memasukkan seluruh harta rampokan mereka. "Alakazam ! tutup… " teriak kepala penyamun, pintu gua pun tertutup.<br />
Setelah para penyamun pergi, Alibaba memberanikan diri keluar dari tempat sembunyinya. Ia mendekati pintu gua tersebut dan meniru teriakan kepala penyamun tadi. "Alakazam! Buka….." pintu gua yang terbuat dari batu itu terbuka. "Wah… Hebat!" teriak Alibaba sambil terpana sebentar karena melihat harta yang bertumpuk-tumpuk seperti gunung. "Gunungan harta ini akan Aku ambil sedikit, semoga aku tak miskin lagi, dan aku akan membantu tetanggaku yang kesusahan". Setelah mengarungkan harta dan emas tersebut, Alibaba segera pulang setelah sebelumnya menutup pintu gua. Istri Alibaba sangat terkejut melihat barang yang dibawa Alibaba. Alibaba kemudian bercerita pada istrinya apa yang baru saja dialaminya. "Uang ini sangat banyak… bagaimana jika kita bagikan kepada orang-orang yang kesusahan.." ujar istri Alibaba. Karena terlalu banyak, uang emas tersebut tidak dapat dihitung Alibaba dan istrinya. Akhirnya mereka sepakat untuk meminjam kendi sebagai timbangan uang emas kepada saudaranya, Kasim. Istri Alibaba segera pergi meminjam kendi kepada istri Kasim. Istri Kasim, seorang yang pencuriga, sehingga ketika ia memberikan kendinya, ia mengoleskan minyak yang sangat lengket di dasar kendi.<br />
Keesokannnya, setelah kendi dikembalikan, ternyata di dasar kendi ada sesuatu yang berkilau. Istri Kasim segera memanggil suaminya dan memberitahu suaminya bahwa di dasar kendi ada uang emas yang melekat. Kasim segera pergi ke rumah Alibaba untuk menanyakan hal tersebut. Setelah semuanya diceritakan Alibaba, Kasim segera kembali kerumahnya untuk mempersiapkan kuda-kudanya. Ia pergi ke gua harta dengan membawa 20 ekor keledai. Setibanya di depan gua, ia berteriak "Alakazam ! Buka…", pintu batu gua bergerak terbuka. Kasim segera masuk dan langsung mengarungkan emas dan harta yang ada didalam gua sebanyak-banyaknya. Ketika ia hendak keluar, Kasim lupa mantra untuk membuka pintu, ia berteriak apa saja dan mulai ketakutan. Tiba-tiba pintu gua bergerak, Kasim merasa lega. Tapi ketika ia mau keluar, para penyamun sudah berada di luar, mereka sama-sama terkejut. "Hei maling! Tangkap dia, bunuh!" teriak kepala penyamun. "Tolong… saya jangan dibunuh", mohon Kasim. Para penyamun yang kejam tidak memberi ampun kepada Kasim. Ia segera dibunuh.<br />
Istri Kasim yang menunggu dirumah mulai kuatir karena sudah seharian Kasim tidak kunjung pulang. Akhirnya ia meminta bantuan Alibaba untuk menyusul saudaranya tersebut. Alibaba segera pergi ke gua harta. Disana ia sangat terkejut karena mendapati tubuh kakaknya sudah terpotong. Setibanya dirumah, istri Kasim menangis sejadi-jadinya. Untuk membantu kakak iparnya itu Alibaba memberikan sekantung uang emas kepadanya. Istri Kasim segera berhenti menangis dan tersenyum, ia sudah lupa akan nasib suaminya yang malang. Alibaba membawa tubuh Kasim ke tukang sepatu untuk menjahitnya kembali seperti semula. Setelah selesai, Alibaba memberikan upah beberapa uang emas.<br />
Dilain tempat, di gua harta, para penyamun terkejut, karena mayat Kasim sudah tidak ada lagi. "Tak salah lagi, pasti ada orang lain yang tahu tentang rahasia gua ini, ayo kita cari dan bunuh dia!" kata sang kepala penyamun. Merekapun mulai berkeliling pelosok kota. Ketika bertemu dengan seorang tukang sepatu, mereka bertanya,"Apakah akhir-akhir ini ada orang yang kaya mendadak ?". "Akulah orang itu, karena setelah menjahit mayat yang terpotong, aku menjadi orang kaya". "Apa! Mayat! Siapa yang memintamu melakukan itu?" Tanya mereka. "Tolong antarkan kami padanya!". Setelah menerima uang dari penyamun, tukang sepatu mengantar mereka ke rumah Alibaba. Si penyamun segera memberi tanda silang dipintu rumah Alibaba. "Aku akan melaporkan pada ketua, dan nanti malam kami akan datang untuk membunuhnya," kata si penyamun. Tetangga Alibaba, Morijana yang baru pulang berbelanja melihat dan mendengar percakapan para penyamun.<br />
Malam harinya, Alibaba didatangi seorang penyamun yang menyamar menjadi seorang pedagang minyak yang kemalaman dan memohon untuk menginap sehari dirumahnya. Alibaba yang baik hati mempersilakan tamunya masuk dan memperlakukannya dengan baik. Ia tidak mengenali wajah si kepala penyamun. Morijana, tetangga Alibaba yang sedang berada diluar rumah, melihat dan mengenali wajah penyamun tersebut. Ia berpikir keras bagaimana cara untuk memberitahu Alibaba. Akhirnya ia mempunyai ide, dengan menyamar sebagai seorang penari. Ia pergi kerumah Alibaba untuk menari. Ketika Alibaba, istri dan tamunya sedang menonton tarian, Morijana dengan cepat melemparkan pedang kecil yang sengaja diselipkannya dibajunya ke dada tamu Alibaba.<br />
Alibaba dan istrinya sangat terkejut, sebelum Alibaba bertanya, Morijana membuka samarannya dan segera menceritakan semua yang telah dilihat dan didengarnya. "Morijana, engkau telah menyelamatkan nyawa kami, terima kasih". Setelah semuanya berlalu, Alibaba membagikan uang peninggalan para penyamun kepada orang-orang miskin dan yang sangat memerlukannya.kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-16000170252648201052011-02-02T20:11:00.001-08:002011-02-02T20:11:43.767-08:00Aladin dan Lampu AjaibDahulu kala, di kota Persia, seorang Ibu tinggal dengan anak laki-lakinya yang bernama Aladin. Suatu hari datanglah seorang laki-laki mendekati Aladin yang sedang bermain. Kemudian laki-laki itu mengakui Aladin sebagai keponakannya. Laki-laki itu mengajak Aladin pergi ke luar kota dengan seizin ibu Aladin untuk membantunya. Jalan yang ditempuh sangat jauh. Aladin mengeluh kecapaian kepada pamannya tetapi ia malah dibentak dan disuruh untuk mencari kayu bakar, kalau tidak mau Aladin akan dibunuhnya. Aladin akhirnya sadar bahwa laki-laki itu bukan pamannya melainkan seorang penyihir. Laki-laki penyihir itu kemudian menyalakan api dengan kayu bakar dan mulai mengucapkan mantera. "Kraak…" tiba-tiba tanah menjadi berlubang seperti gua.<br />
Dalam lubang gua itu terdapat tangga sampai ke dasarnya. "Ayo turun! Ambilkan aku lampu antik di dasar gua itu", seru si penyihir. "Tidak, aku takut turun ke sana", jawab Aladin. Penyihir itu kemudian mengeluarkan sebuah cincin dan memberikannya kepada Aladin. "Ini adalah cincin ajaib, cincin ini akan melindungimu", kata si penyihir. Akhirnya Aladin menuruni tangga itu dengan perasaan takut. Setelah sampai di dasar ia menemukan pohon-pohon berbuah permata. Setelah buah permata dan lampu yang ada di situ dibawanya, ia segera menaiki tangga kembali. Tetapi, pintu lubang sudah tertutup sebagian. "Cepat berikan lampunya !", seru penyihir. "Tidak ! Lampu ini akan kuberikan setelah aku keluar", jawab Aladin. Setelah berdebat, si penyihir menjadi tidak sabar dan akhirnya "Brak!" pintu lubang ditutup oleh si penyihir lalu meninggalkan Aladin terkurung di dalam lubang bawah tanah. Aladin menjadi sedih, dan duduk termenung. "Aku lapar, Aku ingin bertemu ibu, Tuhan, tolonglah aku !", ucap Aladin.<br />
Aladin merapatkan kedua tangannya dan mengusap jari-jarinya. Tiba-tiba, sekelilingnya menjadi merah dan asap membumbung. Bersamaan dengan itu muncul seorang raksasa. Aladin sangat ketakutan. "Maafkan saya, karena telah mengagetkan Tuan", saya adalah peri cincin kata raksasa itu. "Oh, kalau begitu bawalah aku pulang kerumah." "Baik Tuan, naiklah kepunggungku, kita akan segera pergi dari sini", ujar peri cincin. Dalam waktu singkat, Aladin sudah sampai di depan rumahnya. "Kalau tuan memerlukan saya panggillah dengan menggosok cincin Tuan."<br />
Aladin menceritakan semua hal yang di alaminya kepada ibunya. "Mengapa penyihir itu menginginkan lampu kotor ini ya ?", kata Ibu sambil menggosok membersihkan lampu itu. "Syut !" Tiba-tiba asap membumbung dan muncul seorang raksasa peri lampu. "Sebutkanlah perintah Nyonya", kata si peri lampu. Aladin yang sudah pernah mengalami hal seperti ini memberi perintah,"kami lapar, tolong siapkan makanan untuk kami". Dalam waktu singkat peri Lampu membawa makanan yang lezat-lezat kemudian menyuguhkannya. "Jika ada yang diinginkan lagi, panggil saja saya dengan menggosok lampu itu", kata si peri lampu.<br />
Demikian hari, bulan, tahunpun berganti, Aladin hidup bahagia dengan ibunya. Aladin sekarang sudah menjadi seorang pemuda. Suatu hari lewat seorang Putri Raja di depan rumahnya. Ia sangat terpesona dan merasa jatuh cinta kepada Putri Cantik itu. Aladin lalu menceritakan keinginannya kepada ibunya untuk memperistri putri raja. "Tenang Aladin, Ibu akan mengusahakannya". Ibu pergi ke istana raja dengan membawa permata-permata kepunyaan Aladin. "Baginda, ini adalah hadiah untuk Baginda dari anak laki-lakiku." Raja amat senang. "Wah..., anakmu pasti seorang pangeran yang tampan, besok aku akan datang ke Istana kalian dengan membawa serta putriku".<br />
Setelah tiba di rumah Ibu segera menggosok lampu dan meminta peri lampu untuk membawakan sebuah istana. Aladin dan ibunya menunggu di atas bukit. Tak lama kemudian peri lampu datang dengan Istana megah di punggungnya. "Tuan, ini Istananya". Esok hari sang Raja dan putrinya datang berkunjung ke Istana Aladin yang sangat megah. "Maukah engkau menjadikan anakku sebagai istrimu ?", Tanya sang Raja. Aladin sangat gembira mendengarnya. Lalu mereka berdua melaksanakan pesta pernikahan.<br />
Nun jauh disana, si penyihir ternyata melihat semua kejadian itu melalui bola kristalnya. Ia lalu pergi ke tempat Aladin dan pura-pura menjadi seorang penjual lampu di depan Istana Aladin. Ia berteriak-teriak, "tukarkan lampu lama anda dengan lampu baru !". Sang permaisuri yang melihat lampu ajaib Aladin yang usang segera keluar dan menukarkannya dengan lampu baru. Segera si penyihir menggosok lampu itu dan memerintahkan peri lampu memboyong istana beserta isinya dan istri Aladin ke rumahnya.<br />
Ketika Aladin pulang dari berkeliling, ia sangat terkejut. Lalu memanggil peri cincin dan bertanya kepadanya apa yang telah terjadi. "Kalau begitu tolong kembalikan lagi semuanya kepadaku", seru Aladin. "Maaf Tuan, tenaga saya tidaklah sebesar peri lampu," ujar peri cincin. "Baik kalau begitu aku yang akan mengambilnya. Tolong Antarkan kau kesana", seru Aladin. Sesampainya di Istana, Aladin menyelinap masuk mencari kamar tempat sang Putri dikurung. "Penyihir itu sedang tidur karena kebanyakan minum bir", ujar sang Putri. "Baik, jangan kuatir aku akan mengambil kembali lampu ajaib itu, kita nanti akan menang", jawab Aladin.<br />
Aladin mengendap mendekati penyihir yang sedang tidur. Ternyata lampu ajaib menyembul dari kantungnya. Aladin kemudian mengambilnya dan segera menggosoknya. "Singkirkan penjahat ini", seru Aladin kepada peri lampu. Penyihir terbangun, lalu menyerang Aladin. Tetapi peri lampu langsung membanting penyihir itu hingga tewas. "Terima kasih peri lampu, bawalah kami dan Istana ini kembali ke Persia". Sesampainya di Persia Aladin hidup bahagia. Ia mempergunakan sihir dari peri lampu untuk membantu orang-orang miskin dan kesusahan.<br />
(SELESAI)kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-78042951791879997012011-02-02T03:46:00.000-08:002011-02-02T03:46:38.750-08:00Kung Fu Panda 2<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;"><span style="font-style: italic;">film kungfu panda 2</span></span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">ini banyak dibintangi oleh bintang-bintang hollywood terkenal seperti aktor jack black (Po), aktor seth rogen (master mantis - voice) dan artis cantik</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">angelina jolie</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">(master tigress - voice). film ini diproduksi oleh dream works animation</span></div><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;"></span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">Kalau dulu, menjadi seorang pendekar sakti hanyalah sebuah impian, kini Po (Jack Black) benar-benar menjadi seorang pendekar. Sayangnya, terwujudnya impian ini juga membawa konsekuensi bagi Po. Ia tak boleh bermalas-malasan. Ia harus berlatih keras. Dan yang lebih penting lagi, Po harus bisa melindungi rakyat kecil yang tertindas. Tapi benarkah menjadi pahlawan pelindung rakyat kecil seperti itu hanya bisa dicapai dengan belajar Kung Fu?</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">Setelah pertempuran seru beberapa waktu yang lalu, kini Po bersama Master Shifu (Dustin Hoffman), Master Tigress (Angelina Jolie), Master Viper (Lucy Liu), Master Monkey (Jackie Chan), Master Mantis (Seth Rogen), dan Master Crane (David Cross) bisa bernafas lega. Valley of Peace sudah kembali tenteram dan damai. Celakanya, itu tak berumur lama karena muncul kabar yang mengharuskan para pendekar sakti ini turun gunung.</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">Ada kabar kalau Lord Shen (Gary Oldman) ternyata memiliki sebuah senjata rahasia yang sangat berbahaya. Dengan senjata ini, sang raja berusaha menguasai seluruh negeri dan berencana menghancurkan ilmu bela diri Kung Fu. Untungnya, para pendekar sakti ini mendapat bantuan dari The SoothSayer (Michelle Yeoh), Master Skunkman (James Woods), Master Croc (Jean-Claude Van Damme), dan Master Thundering Rhino (Victor Garber). Maka mulailah perjalanan panjang para pendekar ini untuk mencari Lord Shen dan menggagalkan rencana jahat raja itu. Dan untuk itu sepertinya Po harus kembali menelusuri masa lalunya dan mencari senjata untuk melawan Lord Shen(kpl/roc)</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;"><br />
</span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><iframe allowfullscreen='allowfullscreen' webkitallowfullscreen='webkitallowfullscreen' mozallowfullscreen='mozallowfullscreen' width='320' height='266' src='https://www.youtube.com/embed/YdaMGcOyfjM?feature=player_embedded' frameborder='0'></iframe></div><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;"><br />
</span><br />
<span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">produksi :</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Trebuchet MS', Verdana, Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px;">- DreamWorks Animation</span>kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-70458492051098548662011-02-02T03:38:00.000-08:002011-02-02T03:38:07.456-08:00Film Drama-Thriller Black Swan: Ketika Balet Menjadi Menyeramkan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijCf3Bt3ftFVQOkFUcfEhOaM9cDyTEyvcQD1bVEdjnotA2TF6pSy1PZUc8M-Gd26bBZLwuikd4ROvIZiRJQyCpQ08AkTFWhY_uzPH6HD6c_Clr5Snl3R0lEQviqRQo15i7wWtFzHKNW-Vk/s1600/812b8a58b8f95f6915e3b14f414b44f6.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijCf3Bt3ftFVQOkFUcfEhOaM9cDyTEyvcQD1bVEdjnotA2TF6pSy1PZUc8M-Gd26bBZLwuikd4ROvIZiRJQyCpQ08AkTFWhY_uzPH6HD6c_Clr5Snl3R0lEQviqRQo15i7wWtFzHKNW-Vk/s1600/812b8a58b8f95f6915e3b14f414b44f6.jpg" style="cursor: move;" /></a></div><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><span class="Apple-style-span" style="font-size: xx-small;"><br />
</span></span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;">Film drama-thriller Black Swan secara gamblang menghadirkan rivalitas dua penari balet, Nina dan Lily. Namun kompetisi itu bukan persaingan keindahan gerak semata, karena hidup keduanya adalah kenyataan dari simbol baik dan buruk yang mereka perankan.</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;">Film drama Black Swan secara perdana diputar pada Venice Film Festival, Itali, sejak September 2010 lalu. Kemudian, sinema garapan sutradara Darren Aronofsky ini melanjutkan penjelajahannya dari festival satu ke festival lain. Sebelum direkomendasi secara khusus oleh Toronto International Film Festival, Black Swan juga mendapat kritikan positif para penonton di Telluride Film Festival, London Film Festival, Austin Film Festival, sampai Saint Louis International Film Festival. Wajar saja bila Black Swan menempati posisi puncak di Internet Movie Database (IMDB) untuk film yang siap beredar di minggu pertama Desember 2010, dengan skor akhir 8,9. Angka tentu ini mengisyaratkan jika Black Swan bukan sekadar film drama biasa.</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;">Dalam film drama Black Swan yang berdurasi 107 menit ini, Natalie Portman dan Mila Kunis beradu peran sebagai Nina Sayers yang menjadi The Swan Queen, dan Lily yang memerankan karakter The Black Swan. Kedua artis cantik ini memerankan sisi baik dan buruk melalui peran Swan Lake dan Black Swan, sebuah komposisi balet klasik asal Rusia yang dipopulerkan Pyotr Ilyich Tchaikovsky antara 1875–1876. Sutradara pementasan Swan Lake sendiri dipercayakan Aronofsky pada aktor Perancis bermata biru, Vincent Cassel yang memerankan Thomas Leroy.</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;">Sama-sama berbakat, Nina dan Lily menjadi artis asuhan Leroy yang menawan. Keduanya kemudian saling beradu gemulai demi menarik hati sang sutradara. Hanya karena pementasan Swan Lake membutuhkan dua penari balet yang memerankan karakter 'tak berdosa' dan 'pendosa', maka Leroy menetapkan Nina dan Lily menjalankan kedua peran tersebut. Namun, ketika sedikit demi sedikit keduanya mulai menjalin persahabatan di belakang panggung, konflik sebenarnya baru terjadi dalam film drama Black Swan. Karakter yang diperankan rupanya bukan sekadar simbol di atas panggung, karena diri asli mereka ternyata serupa dengan peran yang dibawakan.</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><br />
<div class="separator" style="clear: both; color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px; text-align: center;"><a href="http://megadiskon.com/xinha/plugins/ImageManager/demo_images/img_se/des/0112__film_drama_black_swan_film_drama_thriller_2010__1.jpg" imageanchor="1" style="background-color: transparent; color: #ae0000; margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-decoration: none;"><img border="0" height="287" src="http://megadiskon.com/xinha/plugins/ImageManager/demo_images/img_se/des/0112__film_drama_black_swan_film_drama_thriller_2010__1.jpg" style="border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px;" width="550" /></a></div><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><span style="font-size: medium;">Peran yang Maksimal</span></span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;">Sebagai peraih nominasi Oscar katagori pemeran pembantu wanita terbaik lewat peran "Alice" dalam "Closer" (2004), akting Natalie Portman begitu ciamik dipandang. Gadis kelahiran Israel 29 tahun lalu yang besar di AS itu benar-benar mendalami karakter Nina layaknya Anda tengah melihat kisah aslinya. Lawan mainnya pun tak kalah memukau. Mila Kunis atau Milena Markovna Kunis yang sukses memerankan "Solara" dalam</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><a href="http://seindysmovies.blogspot.com/2010/05/book-of-eli-setting-yahuud-di-tengah.html" style="background-color: transparent; color: #ae0000; text-decoration: none;">The Book of Eli (2010)</a></span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;">itu juga tampil energik sebagai 'wanita jahat'. Pentas keduanya dalam film drama Black Swan benar-benar akan membuat Anda tenggelam dalam plot kisah yang sedikit pelik, lengkap dengan beberapa kejutan sebagai thriller.</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;">Sedang peran Vincent Cassel atau Vincent Crochon yang kita kenal sebagai penjahat smart dan elegant berjuluk "Si Rubah" dalam Ocean Twelve, seakan melengkapi rivalitas keduanya dalam film drama Black Swan. Karakter Leroy sebagai seorang seniman yang menggunakan seksualitas untuk mengarahkan para penarinya, berhasil diperankan dengan tepat. Pria bermata biru kelahiran Perancis 44 tahun lalu itu akan membuat Anda semakin menghayati kehidupan penari balet profesional dunia, berkat arahan dan nuansa yang diberikan pada Nina dan Lily.</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;">Selain ketiganya, film drama Black Swan juga menghadirkan Barbara Hershey yang memerankan Erica Sayers, dan Winona Ryder yang memerankan Beth Macintyre (The Dying Swan). Sayangnya, jika Erica Sayers cukup mampu mengungkapkan karakter seorang mantan penari balet yang terobsesi mendorong anaknya (Nina) ke puncak prestasi, Winona hanya mampu tampil seadanya dengan bagian peran yang kecil, terutama setelah Nina dipilih Leroy menggantikannya.</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><div class="separator" style="clear: both; color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px; text-align: center;"><a href="http://megadiskon.com/xinha/plugins/ImageManager/demo_images/img_se/des/0112__film_drama_black_swan_film_drama_thriller_2010__2.jpg" imageanchor="1" style="background-color: transparent; color: #ae0000; margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-decoration: none;"><img border="0" height="334" src="http://megadiskon.com/xinha/plugins/ImageManager/demo_images/img_se/des/0112__film_drama_black_swan_film_drama_thriller_2010__2.jpg" style="border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px;" width="550" /></a></div><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><span style="font-size: medium;">The Best Scene</span></span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;">Menelan biaya mencapai 17 juta dolar, film drama Black Swan akhirnya diputar ke publik luas. Sebagai sinema "langganan festival", hasil garapan Aronofsky ini memang punya kelebihan dari segi cerita dan kekuatan karakternya. Anda yang menyukai sinema drama ataupun thriller tak bakal menyesal menyaksikan rangkaian kisah yang tensinya kian meninggi menjelang akhir ini. Selain itu, dukungan musiknya membuat suasana yang dibangun jadi sangat mengena dan menenggelamkan para penonton Black Swan ke dalam kisahnya.</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"> </span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;">Di sisi lain, meski 'kebaikan selalu menang mengalahkan kejahatan', film drama Black Swan menghadirkan cara penyelesaian yang tidak lurus. Nina misalnya, mesti bergelut dengan dirinya lebih dulu, sebelum mendapatkan pilihan terbaiknya sendiri. Sedang Lily yang menjadi karakter antagonis, mengajarkan sisi jahat pada Nina sekaligus menjadi teman terbaik melepaskan diri dari kungkungan Erica. Sehingga, baru di akhir sinema Anda dapat menentukan mana jalan terbaik yang menjadi pesan moral dalm film drama Black Swan. Selamat menoton!</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px;"><br />
</span><div class="separator" style="clear: both; color: #333333; font-family: 'Myriad web', Tahoma, Verdana, sans-serif; font-size: 13px; text-align: center;"><a href="http://megadiskon.com/xinha/plugins/ImageManager/demo_images/img_se/des/0112__film_drama_black_swan_film_drama_thriller_2010__3.jpg" imageanchor="1" style="background-color: transparent; color: red; margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-decoration: none;"><img border="0" height="335" src="http://megadiskon.com/xinha/plugins/ImageManager/demo_images/img_se/des/0112__film_drama_black_swan_film_drama_thriller_2010__3.jpg" style="border-bottom-width: 0px; border-color: initial; border-left-width: 0px; border-right-width: 0px; border-style: initial; border-top-width: 0px;" width="550" /></a></div><div><br />
</div>kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-14007963337461803002011-01-22T02:44:00.001-08:002011-01-22T02:44:50.357-08:00Lirik lagu Seventeen - Jaga Selalu HatimuKau jaga selalu hatimu<br />
Saat jauh dariku tunggu aku kembali<br />
Mencintaimu aku tenang<br />
Memilikimu aku ada<br />
Di setiap engkau membuka mata<br />
<br />
Merindukanmu selalu ku rasakan<br />
Selalu memelukmu penuh cinta<br />
Itu yang selalu aku inginkan<br />
<br />
Kau mampu membuatku tersenyum<br />
Dan kau bisa membuat nafasku lebih berarti<br />
<br />
Reff:<br />
Kau jaga selalu hatimu<br />
Saat jauh dariku tunggu aku kembali<br />
Ku mencintaimu selalu<br />
Menyayangimu sampai akhir menutup mata<br />
<br />
Kau mampu membuatku tersenyum<br />
Dan kau bisa membuat nafasku lebih berarti<br />
<br />
Back to Reff: 2x<br />
<br />
Kau kau jaga selalu hatimukikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-12199255139114318042011-01-22T02:44:00.000-08:002011-01-22T02:44:12.333-08:00Lirik lagu Astrid - Tak Ingin DicintaiAku tak ingin dicintai<br />
Bila tak sepenuh hati<br />
Aku tak ingin dimiliki<br />
Bila tak sepenuh hati<br />
<br />
Aku tak mau kau sayangi<br />
Bila kau setengah hati<br />
Aku tak mau kau ingini<br />
Bila kau setengah hati<br />
<br />
Karena hatiku tak akan ku beri<br />
Pada kekasih yang tidak baik hati<br />
Jadi daripada aku mengharap kesungguhanmu<br />
Aku lebih memilih pergi dan cari penggantimu<br />
<br />
Aku tak ingin dicintai<br />
Bila tak sepenuh hati<br />
Aku tak ingin dimiliki<br />
Bila tak sepenuh hati<br />
<br />
Karena hatiku tak akan ku beri<br />
Pada kekasih yang tidak baik hati<br />
Jadi daripada aku mengharap kesungguhanmu<br />
Aku lebih memilih pergi dan cari penggantimu<br />
<br />
Karena hatiku tak akan ku beri<br />
Pada kekasih yang tidak baik hati<br />
<br />
Karena hatiku tak akan ku beri<br />
Pada kekasih yang tidak baik hati<br />
Jadi daripada aku mengharap kesungguhanmu<br />
Aku lebih memilih pergi dan cari penggantimu<br />
<br />
Karena hatiku tak akan ku beri<br />
Pada kekasih yang tidak baik hati<br />
Jadi daripada aku mengharap kesungguhanmu<br />
Aku lebih memilih pergi dan cari penggantimu<br />
<br />
Aku tak mau kau sayangi<br />
Bila kau setengah hati<br />
Aku tak ingin dicintai<br />
Aku tak ingin dimiliki<br />
Aku tak mau kau sayangi<br />
Aku tak mau kau inginikikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-20248421023328737162011-01-22T02:42:00.000-08:002011-01-22T02:42:18.131-08:00Lirik Lagu D Masiv - SemakinKamu yang kini memikat hatiku<br />
Sungguh ku ingin lebih dekat denganmu<br />
Beri aku waktu 'tuk buktikan kepadamu<br />
Sungguh ku ingin memiliki hatimu<br />
<br />
Reff:<br />
Semakin ku memikirkanmu <br />
Semakin ku menggilaimu<br />
Kau bintang di hatiku<br />
Terangi setiap langkahku<br />
<br />
Beri aku waktu tuk buktikan kepadamu<br />
Sungguh ku ingin memiliki hatimu<br />
<br />
Repeat Reff [4x]kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-73557737340366812082011-01-22T02:39:00.002-08:002011-02-02T19:23:24.239-08:00The Little Mermaid<div align="justify"><em><strong>by Hans Christian Andersen</strong></em></div><div align="justify"><br />
Far out in the ocean, where the water is as blue as the prettiest cornflower, and as clear as crystal, it is very, very deep; so deep, indeed, that no cable could fathom it: many church steeples, piled one upon another, would not reach from the ground beneath to the surface of the water above. There dwell the Sea King and his subjects. <br />
We must not imagine that there is nothing at the bottom of the sea but bare yellow sand. No, indeed; the most singular flowers and plants grow there; the leaves and stems of which are so pliant, that the slightest agitation of the water causes them to stir as if they had life. Fishes, both large and small, glide between the branches, as birds fly among the trees here upon land. In the deepest spot of all, stands the castle of the Sea King. Its walls are built of coral, and the long, gothic windows are of the clearest amber. The roof is formed of shells, that open and close as the water flows over them. Their appearance is very beautiful, for in each lies a glittering pearl, which would be fit for the diadem of a queen. <br />
The Sea King had been a widower for many years, and his aged mother kept house for him. She was a very wise woman, and exceedingly proud of her high birth; on that account she wore twelve oysters on her tail; while others, also of high rank, were only allowed to wear six. She was, however, deserving of very great praise, especially for her care of the little sea-princesses, her grand-daughters. They were six beautiful children; but the youngest was the prettiest of them all; her skin was as clear and delicate as a rose-leaf, and her eyes as blue as the deepest sea; but, like all the others, she had no feet, and her body ended in a fish's tail. <br />
All day long they played in the great halls of the castle, or among the living flowers that grew out of the walls. The large amber windows were open, and the fish swam in, just as the swallows fly into our houses when we open the windows, excepting that the fishes swam up to the princesses, ate out of their hands, and allowed themselves to be stroked. <br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4992979661149222710&postID=7355773734036681208" name="2" title="2"></a><br />
Outside the castle there was a beautiful garden, in which grew bright red and dark blue flowers, and blossoms like flames of fire; the fruit glittered like gold, and the leaves and stems waved to and fro continually. The earth itself was the finest sand, but blue as the flame of burning sulphur. Over everything lay a peculiar blue radiance, as if it were surrounded by the air from above, through which the blue sky shone, instead of the dark depths of the sea. In calm weather the sun could be seen, looking like a purple flower, with the light streaming from the calyx. Each of the young princesses had a little plot of ground in the garden, where she might dig and plant as she pleased. One arranged her flower-bed into the form of a whale; another thought it better to make hers like the figure of a little mermaid; but that of the youngest was round like the sun, and contained flowers as red as his rays at sunset. <br />
She was a strange child, quiet and thoughtful; and while her sisters would be delighted with the wonderful things which they obtained from the wrecks of vessels, she cared for nothing but her pretty red flowers, like the sun, excepting a beautiful marble statue. It was the representation of a handsome boy, carved out of pure white stone, which had fallen to the bottom of the sea from a wreck. She planted by the statue a rose-colored weeping willow. It grew splendidly, and very soon hung its fresh branches over the statue, almost down to the blue sands. The shadow had a violet tint, and waved to and fro like the branches; it seemed as if the crown of the tree and the root were at play, and trying to kiss each other. <br />
Nothing gave her so much pleasure as to hear about the world above the sea.<span class=”fullpost”> She made her old grandmother tell her all she knew of the ships and of the towns, the people and the animals. To her it seemed most wonderful and beautiful to hear that the flowers of the land should have fragrance, and not those below the sea; that the trees of the forest should be green; and that the fishes among the trees could sing so sweetly, that it was quite a pleasure to hear them. Her grandmother called the little birds fishes, or she would not have understood her; for she had never seen birds. <br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4992979661149222710&postID=7355773734036681208" name="3" title="3"></a><br />
"When you have reached your fifteenth year," said the grand-mother, "you will have permission to rise up out of the sea, to sit on the rocks in the moonlight, while the great ships are sailing by; and then you will see both forests and towns." <br />
In the following year, one of the sisters would be fifteen: but as each was a year younger than the other, the youngest would have to wait five years before her turn came to rise up from the bottom of the ocean, and see the earth as we do. However, each promised to tell the others what she saw on her first visit, and what she thought the most beautiful; for their grandmother could not tell them enough; there were so many things on which they wanted information. None of them longed so much for her turn to come as the youngest, she who had the longest time to wait, and who was so quiet and thoughtful. <br />
Many nights she stood by the open window, looking up through the dark blue water, and watching the fish as they splashed about with their fins and tails. She could see the moon and stars shining faintly; but through the water they looked larger than they do to our eyes. When something like a black cloud passed between her and them, she knew that it was either a whale swimming over her head, or a ship full of human beings, who never imagined that a pretty little mermaid was standing beneath them, holding out her white hands towards the keel of their ship.<br />
As soon as the eldest was fifteen, she was allowed to rise to the surface of the ocean. When she came back, she had hundreds of things to talk about; but the most beautiful, she said, was to lie in the moonlight, on a sandbank, in the quiet sea, near the coast, and to gaze on a large town nearby, where the lights were twinkling like hundreds of stars; to listen to the sounds of the music, the noise of carriages, and the voices of human beings, and then to hear the merry bells peal out from the church steeples; and because she could not go near to all those wonderful things, she longed for them more than ever. Oh, did not the youngest sister listen eagerly to all these descriptions? and afterwards, when she stood at the open window looking up through the dark blue water, she thought of the great city, with all its bustle and noise, and even fancied she could hear the sound of the church bells, down in the depths of the sea. <br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4992979661149222710&postID=7355773734036681208" name="4" title="4"></a><br />
In another year the second sister received permission to rise to the surface of the water, and to swim about where she pleased. She rose just as the sun was setting, and this, she said, was the most beautiful sight of all. The whole sky looked like gold, while violet and rose-colored clouds, which she could not describe, floated over her; and, still more rapidly than the clouds, flew a large flock of wild swans towards the setting sun, looking like a long white veil across the sea. She also swam towards the sun; but it sunk into the waves, and the rosy tints faded from the clouds and from the sea. <br />
The third sister's turn followed; she was the boldest of them all, and she swam up a broad river that emptied itself into the sea. On the banks she saw green hills covered with beautiful vines; palaces and castles peeped out from amid the proud trees of the forest; she heard the birds singing, and the rays of the sun were so powerful that she was obliged often to dive down under the water to cool her burning face. In a narrow creek she found a whole troop of little human children, quite naked, and sporting about in the water; she wanted to play with them, but they fled in a great fright; and then a little black animal came to the water; it was a dog, but she did not know that, for she had never before seen one. This animal barked at her so terribly that she became frightened, and rushed back to the open sea. But she said she should never forget the beautiful forest, the green hills, and the pretty little children who could swim in the water, although they had not fish's tails. <br />
The fourth sister was more timid; she remained in the midst of the sea, but she said it was quite as beautiful there as nearer the land. She could see for so many miles around her, and the sky above looked like a bell of glass. She had seen the ships, but at such a great distance that they looked like sea-gulls. The dolphins sported in the waves, and the great whales spouted water from their nostrils till it seemed as if a hundred fountains were playing in every direction. <br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4992979661149222710&postID=7355773734036681208" name="5" title="5"></a><br />
The fifth sister's birthday occurred in the winter; so when her turn came, she saw what the others had not seen the first time they went up. The sea looked quite green, and large icebergs were floating about, each like a pearl, she said, but larger and loftier than the churches built by men. They were of the most singular shapes, and glittered like diamonds. She had seated herself upon one of the largest, and let the wind play with her long hair, and she remarked that all the ships sailed by rapidly, and steered as far away as they could from the iceberg, as if they were afraid of it. Towards evening, as the sun went down, dark clouds covered the sky, the thunder rolled and the lightning flashed, and the red light glowed on the icebergs as they rocked and tossed on the heaving sea. On all the ships the sails were reefed with fear and trembling, while she sat calmly on the floating iceberg, watching the blue lightning, as it darted its forked flashes into the sea. <br />
When first the sisters had permission to rise to the surface, they were each delighted with the new and beautiful sights they saw; but now, as grown-up girls, they could go when they pleased, and they had become indifferent about it. They wished themselves back again in the water, and after a month had passed they said it was much more beautiful down below, and pleasanter to be at home. Yet often, in the evening hours, the five sisters would twine their arms round each other, and rise to the surface, in a row. They had more beautiful voices than any human being could have; and before the approach of a storm, and when they expected a ship would be lost, they swam before the vessel, and sang sweetly of the delights to be found in the depths of the sea, and begging the sailors not to fear if they sank to the bottom. But the sailors could not understand the song, they took it for the howling of the storm. And these things were never to be beautiful for them; for if the ship sank, the men were drowned, and their dead bodies alone reached the palace of the Sea King. <br />
When the sisters rose, arm-in-arm, through the water in this way, their youngest sister would stand quite alone, looking after them, ready to cry, only that the mermaids have no tears, and therefore they suffer more. <br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4992979661149222710&postID=7355773734036681208" name="6" title="6"></a><br />
"Oh, were I but fifteen years old," said she: "I know that I shall love the world up there, and all the people who live in it." <br />
At last she reached her fifteenth year. <br />
"Well, now, you are grown up," said the old dowager, her grandmother; "so you must let me adorn you like your other sisters;" and she placed a wreath of white lilies in her hair, and every flower leaf was half a pearl. Then the old lady ordered eight great oysters to attach themselves to the tail of the princess to show her high rank. <br />
"But they hurt me so," said the little mermaid. <br />
"Pride must suffer pain," replied the old lady. Oh, how gladly she would have shaken off all this grandeur, and laid aside the heavy wreath! The red flowers in her own garden would have suited her much better, but she could not help herself: so she said, "Farewell," and rose as lightly as a bubble to the surface of the water. <br />
The sun had just set as she raised her head above the waves; but the clouds were tinted with crimson and gold, and through the glimmering twilight beamed the evening star in all its beauty. The sea was calm, and the air mild and fresh. A large ship, with three masts, lay becalmed on the water, with only one sail set; for not a breeze stiffed, and the sailors sat idle on deck or amongst the rigging. There was music and song on board; and, as darkness came on, a hundred colored lanterns were lighted, as if the flags of all nations waved in the air. The little mermaid swam close to the cabin windows; and now and then, as the waves lifted her up, she could look in through clear glass window-panes, and see a number of well-dressed people within. <br />
Among them was a young prince, the most beautiful of all, with large black eyes; he was sixteen years of age, and his birthday was being kept with much rejoicing. The sailors were dancing on deck, but when the prince came out of the cabin, more than a hundred rockets rose in the air, making it as bright as day. The little mermaid was so startled that she dived under water; and when she again stretched out her head, it appeared as if all the stars of heaven were falling around her, she had never seen such fireworks before. Great suns spurted fire about, splendid fireflies flew into the blue air, and everything was reflected in the clear, calm sea beneath. The ship itself was so brightly illuminated that all the people, and even the smallest rope, could be distinctly and plainly seen. And how handsome the young prince looked, as he pressed the hands of all present and smiled at them, while the music resounded through the clear night air. <br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4992979661149222710&postID=7355773734036681208" name="7" title="7"></a> It was very late; yet the little mermaid could not take her eyes from the ship, or from the beautiful prince. The colored lanterns had been extinguished, no more rockets rose in the air, and the cannon had ceased firing; but the sea became restless, and a moaning, grumbling sound could be heard beneath the waves: still the little mermaid remained by the cabin window, rocking up and down on the water, which enabled her to look in. <br />
After a while, the sails were quickly unfurled, and the noble ship continued her passage; but soon the waves rose higher, heavy clouds darkened the sky, and lightning appeared in the distance. A dreadful storm was approaching; once more the sails were reefed, and the great ship pursued her flying course over the raging sea. The waves rose mountains high, as if they would have overtopped the mast; but the ship dived like a swan between them, and then rose again on their lofty, foaming crests. To the little mermaid this appeared pleasant sport; not so to the sailors. At length the ship groaned and creaked; the thick planks gave way under the lashing of the sea as it broke over the deck; the mainmast snapped asunder like a reed; the ship lay over on her side; and the water rushed in. <br />
The little mermaid now perceived that the crew were in danger; even she herself was obliged to be careful to avoid the beams and planks of the wreck which lay scattered on the water. At one moment it was so pitch dark that she could not see a single object, but a flash of lightning revealed the whole scene; she could see every one who had been on board excepting the prince; when the ship parted, she had seen him sink into the deep waves, and she was glad, for she thought he would now be with her; and then she remembered that human beings could not live in the water, so that when he got down to her father's palace he would be quite dead. But he must not die. So she swam about among the beams and planks which strewed the surface of the sea, forgetting that they could crush her to pieces. Then she dived deeply under the dark waters, rising and falling with the waves, till at length she managed to reach the young prince, who was fast losing the power of swimming in that stormy sea. His limbs were failing him, his beautiful eyes were closed, and he would have died had not the little mermaid come to his assistance. She held his head above the water, and let the waves drift them where they would. <br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4992979661149222710&postID=7355773734036681208" name="8" title="8"></a><br />
In the morning the storm had ceased; but of the ship not a single fragment could be seen. The sun rose up red and glowing from the water, and its beams brought back the hue of health to the prince's cheeks; but his eyes remained closed. The mermaid kissed his high, smooth forehead, and stroked back his wet hair; he seemed to her like the marble statue in her little garden, and she kissed him again, and wished that he might live. <br />
Presently they came in sight of land; she saw lofty blue mountains, on which the white snow rested as if a flock of swans were lying upon them. Near the coast were beautiful green forests, and close by stood a large building, whether a church or a convent she could not tell. Orange and citron trees grew in the garden, and before the door stood lofty palms. The sea here formed a little bay, in which the water was quite still, but very deep; so she swam with the handsome prince to the beach, which was covered with fine, white sand, and there she laid him in the warm sunshine, taking care to raise his head higher than his body. Then bells sounded in the large white building, and a number of young girls came into the garden. The little mermaid swam out farther from the shore and placed herself between some high rocks that rose out of the water; then she covered her head and neck with the foam of the sea so that her little face might not be seen, and watched to see what would become of the poor prince. <br />
She did not wait long before she saw a young girl approach the spot where he lay. She seemed frightened at first, but only for a moment; then she fetched a number of people, and the mermaid saw that the prince came to life again, and smiled upon those who stood round him. But to her he sent no smile; he knew not that she had saved him. This made her very unhappy, and when he was led away into the great building, she dived down sorrowfully into the water, and returned to her father's castle. <br />
She had always been silent and thoughtful, and now she was more so than ever. Her sisters asked her what she had seen during her first visit to the surface of the water; but she would tell them nothing. Many an evening and morning did she rise to the place where she had left the prince. She saw the fruits in the garden ripen till they were gathered, the snow on the tops of the mountains melt away; but she never saw the prince, and therefore she returned home, always more sorrowful than before. It was her only comfort to sit in her own little garden, and fling her arm round the beautiful marble statue which was like the prince; but she gave up tending her flowers, and they grew in wild confusion over the paths, twining their long leaves and stems round the branches of the trees, so that the whole place became dark and gloomy. <br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4992979661149222710&postID=7355773734036681208" name="9" title="9"></a><br />
At length she could bear it no longer, and told one of her sisters all about it. Then the others heard the secret, and very soon it became known to two mermaids whose intimate friend happened to know who the prince was. She had also seen the festival on board ship, and she told them where the prince came from, and where his palace stood. <br />
"Come, little sister," said the other princesses; then they entwined their arms and rose up in a long row to the surface of the water, close by the spot where they knew the prince's palace stood. <br />
It was built of bright yellow shining stone, with long flights of marble steps, one of which reached quite down to the sea. Splendid gilded cupolas rose over the roof, and between the pillars that surrounded the whole building stood life-like statues of marble. Through the clear crystal of the lofty windows could be seen noble rooms, with costly silk curtains and hangings of tapestry; while the walls were covered with beautiful paintings which were a pleasure to look at. In the centre of the largest saloon a fountain threw its sparkling jets high up into the glass cupola of the ceiling, through which the sun shone down upon the water and upon the beautiful plants growing round the basin of the fountain. <br />
Now that she knew where he lived, she spent many an evening and many a night on the water near the palace. She would swim much nearer the shore than any of the others ventured to do; indeed once she went quite up the narrow channel under the marble balcony, which threw a broad shadow on the water. Here she would sit and watch the young prince, who thought himself quite alone in the bright moonlight. She saw him many times of an evening sailing in a pleasant boat, with music playing and flags waving. She peeped out from among the green rushes, and if the wind caught her long silvery-white veil, those who saw it believed it to be a swan, spreading out its wings. On many a night, too, when the fishermen, with their torches, were out at sea, she heard them relate so many good things about the doings of the young prince, that she was glad she had saved his life when he had been tossed about half-dead on the waves. And she remembered that his head had rested on her bosom, and how heartily she had kissed him; but he knew nothing of all this, and could not even dream of her. She grew more and more fond of human beings, and wished more and more to be able to wander about with those whose world seemed to be so much larger than her own. They could fly over the sea in ships, and mount the high hills which were far above the clouds; and the lands they possessed, their woods and their fields, stretched far away beyond the reach of her sight. There was so much that she wished to know, and her sisters were unable to answer all her questions. Then she applied to her old grandmother, who knew all about the upper world, which she very rightly called the lands above the sea. <br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4992979661149222710&postID=7355773734036681208" name="10" title="10"></a><br />
"If human beings are not drowned," asked the little mermaid, "can they live forever? do they never die as we do here in the sea?" <br />
"Yes," replied the old lady, "they must also die, and their term of life is even shorter than ours. We sometimes live to three hundred years, but when we cease to exist here we only become the foam on the surface of the water, and we have not even a grave down here of those we love. We have not immortal souls, we shall never live again; but, like the green sea-weed, when once it has been cut off, we can never flourish more. Human beings, on the contrary, have a soul which lives forever, lives after the body has been turned to dust. It rises up through the clear, pure air beyond the glittering stars. As we rise out of the water, and behold all the land of the earth, so do they rise to unknown and glorious regions which we shall never see." <br />
"Why have not we an immortal soul?" asked the little mermaid mournfully; "I would give gladly all the hundreds of years that I have to live, to be a human being only for one day, and to have the hope of knowing the happiness of that glorious world above the stars." <br />
"You must not think of that," said the old woman; "we feel ourselves to be much happier and much better off than human beings." <br />
"So I shall die," said the little mermaid, "and as the foam of the sea I shall be driven about never again to hear the music of the waves, or to see the pretty flowers nor the red sun. Is there anything I can do to win an immortal soul?" <br />
"No," said the old woman, "unless a man were to love you so much that you were more to him than his father or mother; and if all his thoughts and all his love were fixed upon you, and the priest placed his right hand in yours, and he promised to be true to you here and hereafter, then his soul would glide into your body and you would obtain a share in the future happiness of mankind. He would give a soul to you and retain his own as well; but this can never happen. Your fish's tail, which amongst us is considered so beautiful, is thought on earth to be quite ugly; they do not know any better, and they think it necessary to have two stout props, which they call legs, in order to be handsome." <br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4992979661149222710&postID=7355773734036681208" name="11" title="11"></a><br />
Then the little mermaid sighed, and looked sorrowfully at her fish's tail. "Let us be happy," said the old lady, "and dart and spring about during the three hundred years that we have to live, which is really quite long enough; after that we can rest ourselves all the better. This evening we are going to have a court ball." <br />
It is one of those splendid sights which we can never see on earth. The walls and the ceiling of the large ball-room were of thick, but transparent crystal. May hundreds of colossal shells, some of a deep red, others of a grass green, stood on each side in rows, with blue fire in them, which lighted up the whole saloon, and shone through the walls, so that the sea was also illuminated. Innumerable fishes, great and small, swam past the crystal walls; on some of them the scales glowed with a purple brilliancy, and on others they shone like silver and gold. Through the halls flowed a broad stream, and in it danced the mermen and the mermaids to the music of their own sweet singing. No one on earth has such a lovely voice as theirs. The little mermaid sang more sweetly than them all. The whole court applauded her with hands and tails; and for a moment her heart felt quite gay, for she knew she had the loveliest voice of any on earth or in the sea. But she soon thought again of the world above her, for she could not forget the charming prince, nor her sorrow that she had not an immortal soul like his; therefore she crept away silently out of her father's palace, and while everything within was gladness and song, she sat in her own little garden sorrowful and alone. Then she heard the bugle sounding through the water, and thought: "He is certainly sailing above, he on whom my wishes depend, and in whose hands I should like to place the happiness of my life. I will venture all for him, and to win an immortal soul, while my sisters are dancing in my father's palace, I will go to the sea witch, of whom I have always been so much afraid, but she can give me counsel and help." <br />
And then the little mermaid went out from her garden, and took the road to the foaming whirlpools, behind which the sorceress lived. She had never been that way before: neither flowers nor grass grew there; nothing but bare, gray, sandy ground stretched out to the whirlpool, where the water, like foaming mill-wheels, whirled round everything that it seized, and cast it into the fathomless deep. Through the midst of these crushing whirlpools the little mermaid was obliged to pass, to reach the dominions of the sea witch; and also for a long distance the only road lay right across a quantity of warm, bubbling mire, called by the witch her turfmoor. Beyond this stood her house, in the centre of a strange forest, in which all the trees and flowers were polypi, half animals and half plants; they looked like serpents with a hundred heads growing out of the ground. The branches were long slimy arms, with fingers like flexible worms, moving limb after limb from the root to the top. All that could be reached in the sea they seized upon, and held fast, so that it never escaped from their clutches. <br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4992979661149222710&postID=7355773734036681208" name="12" title="12"></a><br />
The little mermaid was so alarmed at what she saw, that she stood still, and her heart beat with fear, and she was very nearly turning back; but she thought of the prince, and of the human soul for which she longed, and her courage returned. She fastened her long flowing hair round her head, so that the polypi might not seize hold of it. She laid her hands together across her bosom, and then she darted forward as a fish shoots through the water, between the supple arms and fingers of the ugly polypi, which were stretched out on each side of her. She saw that each held in its grasp something it had seized with its numerous little arms, as if they were iron bands. The white skeletons of human beings who had perished at sea, and had sunk down into the deep waters, skeletons of land animals, oars, rudders, and chests of ships were lying tightly grasped by their clinging arms; even a little mermaid, whom they had caught and strangled; and this seemed the most shocking of all to the little princess. <br />
She now came to a space of marshy ground in the wood, where large, fat water-snakes were rolling in the mire, and showing their ugly, drab-colored bodies. In the midst of this spot stood a house, built with the bones of shipwrecked human beings. There sat the sea witch, allowing a toad to eat from her mouth, just as people sometimes feed a canary with a piece of sugar. She called the ugly water-snakes her little chickens, and allowed them to crawl all over her bosom. <br />
"I know what you want," said the sea witch; "it is very stupid of you, but you shall have your way, and it will bring you to sorrow, my pretty princess. You want to get rid of your fish's tail, and to have two supports instead of it, like human beings on earth, so that the young prince may fall in love with you, and that you may have an immortal soul." And then the witch laughed so loud and disgustingly, that the toad and the snakes fell to the ground, and lay there wriggling about. "You are but just in time," said the witch; "for after sunrise to-morrow I should not be able to help you till the end of another year. I will prepare a draught for you, with which you must swim to land tomorrow before sunrise, and sit down on the shore and drink it. Your tail will then disappear, and shrink up into what mankind calls legs, and you will feel great pain, as if a sword were passing through you. But all who see you will say that you are the prettiest little human being they ever saw. You will still have the same floating gracefulness of movement, and no dancer will ever tread so lightly; but at every step you take it will feel as if you were treading upon sharp knives, and that the blood must flow. If you will bear all this, I will help you." <br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4992979661149222710&postID=7355773734036681208" name="13" title="13"></a><br />
"Yes, I will," said the little princess in a trembling voice, as she thought of the prince and the immortal soul. <br />
"But think again," said the witch; "for when once your shape has become like a human being, you can no more be a mermaid. You will never return through the water to your sisters, or to your father's palace again; and if you do not win the love of the prince, so that he is willing to forget his father and mother for your sake, and to love you with his whole soul, and allow the priest to join your hands that you may be man and wife, then you will never have an immortal soul. The first morning after he marries another your heart will break, and you will become foam on the crest of the waves." <br />
"I will do it," said the little mermaid, and she became pale as death. <br />
"But I must be paid also," said the witch, "and it is not a trifle that I ask. You have the sweetest voice of any who dwell here in the depths of the sea, and you believe that you will be able to charm the prince with it also, but this voice you must give to me; the best thing you possess will I have for the price of my draught. My own blood must be mixed with it, that it may be as sharp as a two-edged sword." <br />
"But if you take away my voice," said the little mermaid, "what is left for me?" <br />
"Your beautiful form, your graceful walk, and your expressive eyes; surely with these you can enchain a man's heart. Well, have you lost your courage? Put out your little tongue that I may cut it off as my payment; then you shall have the powerful draught." <br />
"It shall be," said the little mermaid. <br />
Then the witch placed her cauldron on the fire, to prepare the magic draught. <br />
"Cleanliness is a good thing," said she, scouring the vessel with snakes, which she had tied together in a large knot; then she pricked herself in the breast, and let the black blood drop into it. The steam that rose formed itself into such horrible shapes that no one could look at them without fear. Every moment the witch threw something else into the vessel, and when it began to boil, the sound was like the weeping of a crocodile. When at last the magic draught was ready, it looked like the clearest water. <br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4992979661149222710&postID=7355773734036681208" name="14" title="14"></a><br />
"There it is for you," said the witch. Then she cut off the mermaid's tongue, so that she became dumb, and would never again speak or sing. "If the polypi should seize hold of you as you return through the wood," said the witch, "throw over them a few drops of the potion, and their fingers will be torn into a thousand pieces." But the little mermaid had no occasion to do this, for the polypi sprang back in terror when they caught sight of the glittering draught, which shone in her hand like a twinkling star. <br />
So she passed quickly through the wood and the marsh, and between the rushing whirlpools. She saw that in her father's palace the torches in the ballroom were extinguished, and all within asleep; but she did not venture to go in to them, for now she was dumb and going to leave them forever, she felt as if her heart would break. She stole into the garden, took a flower from the flower-beds of each of her sisters, kissed her hand a thousand times towards the palace, and then rose up through the dark blue waters. <br />
The sun had not risen when she came in sight of the prince's palace, and approached the beautiful marble steps, but the moon shone clear and bright. Then the little mermaid drank the magic draught, and it seemed as if a two-edged sword went through her delicate body: she fell into a swoon, and lay like one dead. <br />
When the sun arose and shone over the sea, she recovered, and felt a sharp pain; but just before her stood the handsome young prince. He fixed his coal-black eyes upon her so earnestly that she cast down her own, and then became aware that her fish's tail was gone, and that she had as pretty a pair of white legs and tiny feet as any little maiden could have; but she had no clothes, so she wrapped herself in her long, thick hair. The prince asked her who she was, and where she came from, and she looked at him mildly and sorrowfully with her deep blue eyes; but she could not speak. Every step she took was as the witch had said it would be, she felt as if treading upon the points of needles or sharp knives; but she bore it willingly, and stepped as lightly by the prince's side as a soap-bubble, so that he and all who saw her wondered at her graceful-swaying movements. She was very soon arrayed in costly robes of silk and muslin, and was the most beautiful creature in the palace; but she was dumb, and could neither speak nor sing. <br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4992979661149222710&postID=7355773734036681208" name="15" title="15"></a><br />
Beautiful female slaves, dressed in silk and gold, stepped forward and sang before the prince and his royal parents: one sang better than all the others, and the prince clapped his hands and smiled at her. This was great sorrow to the little mermaid; she knew how much more sweetly she herself could sing once, and she thought, "Oh if he could only know that! I have given away my voice forever, to be with him." <br />
The slaves next performed some pretty fairy-like dances, to the sound of beautiful music. Then the little mermaid raised her lovely white arms, stood on the tips of her toes, and glided over the floor, and danced as no one yet had been able to dance. At each moment her beauty became more revealed, and her expressive eyes appealed more directly to the heart than the songs of the slaves. Every one was enchanted, especially the prince, who called her his little foundling; and she danced again quite readily, to please him, though each time her foot touched the floor it seemed as if she trod on sharp knives. <br />
The prince said she should remain with him always, and she received permission to sleep at his door, on a velvet cushion. He had a page's dress made for her, that she might accompany him on horseback. They rode together through the sweet-scented woods, where the green boughs touched their shoulders, and the little birds sang among the fresh leaves. She climbed with the prince to the tops of high mountains; and although her tender feet bled so that even her steps were marked, she only laughed, and followed him till they could see the clouds beneath them looking like a flock of birds travelling to distant lands. While at the prince's palace, and when all the household were asleep, she would go and sit on the broad marble steps; for it eased her burning feet to bathe them in the cold sea-water; and then she thought of all those below in the deep. <br />
Once during the night her sisters came up arm-in-arm, singing sorrowfully, as they floated on the water. She beckoned to them, and then they recognized her, and told her how she had grieved them. After that, they came to the same place every night; and once she saw in the distance her old grandmother, who had not been to the surface of the sea for many years, and the old Sea King, her father, with his crown on his head. They stretched out their hands towards her, but they did not venture so near the land as her sisters did. <br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4992979661149222710&postID=7355773734036681208" name="16" title="16"></a><br />
As the days passed, she loved the prince more fondly, and he loved her as he would love a little child, but it never came into his head to make her his wife; yet, unless he married her, she could not receive an immortal soul; and, on the morning after his marriage with another, she would dissolve into the foam of the sea. <br />
"Do you not love me the best of them all?" the eyes of the little mermaid seemed to say, when he took her in his arms, and kissed her fair forehead. <br />
"Yes, you are dear to me," said the prince; "for you have the best heart, and you are the most devoted to me; you are like a young maiden whom I once saw, but whom I shall never meet again. I was in a ship that was wrecked, and the waves cast me ashore near a holy temple, where several young maidens performed the service. The youngest of them found me on the shore, and saved my life. I saw her but twice, and she is the only one in the world whom I could love; but you are like her, and you have almost driven her image out of my mind. She belongs to the holy temple, and my good fortune has sent you to me instead of her; and we will never part." <br />
"Ah, he knows not that it was I who saved his life," thought the little mermaid. "I carried him over the sea to the wood where the temple stands: I sat beneath the foam, and watched till the human beings came to help him. I saw the pretty maiden that he loves better than he loves me;" and the mermaid sighed deeply, but she could not shed tears. "He says the maiden belongs to the holy temple, therefore she will never return to the world. They will meet no more: while I am by his side, and see him every day. I will take care of him, and love him, and give up my life for his sake." <br />
Very soon it was said that the prince must marry, and that the beautiful daughter of a neighboring king would be his wife, for a fine ship was being fitted out. Although the prince gave out that he merely intended to pay a visit to the king, it was generally supposed that he really went to see his daughter. A great company were to go with him. The little mermaid smiled, and shook her head. She knew the prince's thoughts better than any of the others. <br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4992979661149222710&postID=7355773734036681208" name="17" title="17"></a><br />
"I must travel," he had said to her; "I must see this beautiful princess; my parents desire it; but they will not oblige me to bring her home as my bride. I cannot love her; she is not like the beautiful maiden in the temple, whom you resemble. If I were forced to choose a bride, I would rather choose you, my dumb foundling, with those expressive eyes." And then he kissed her rosy mouth, played with her long waving hair, and laid his head on her heart, while she dreamed of human happiness and an immortal soul. "You are not afraid of the sea, my dumb child," said he, as they stood on the deck of the noble ship which was to carry them to the country of the neighboring king. And then he told her of storm and of calm, of strange fishes in the deep beneath them, and of what the divers had seen there; and she smiled at his descriptions, for she knew better than any one what wonders were at the bottom of the sea. <br />
In the moonlight, when all on board were asleep, excepting the man at the helm, who was steering, she sat on the deck, gazing down through the clear water. She thought she could distinguish her father's castle, and upon it her aged grandmother, with the silver crown on her head, looking through the rushing tide at the keel of the vessel. Then her sisters came up on the waves, and gazed at her mournfully, wringing their white hands. She beckoned to them, and smiled, and wanted to tell them how happy and well off she was; but the cabin-boy approached, and when her sisters dived down he thought it was only the foam of the sea which he saw. <br />
The next morning the ship sailed into the harbor of a beautiful town belonging to the king whom the prince was going to visit. The church bells were ringing, and from the high towers sounded a flourish of trumpets; and soldiers, with flying colors and glittering bayonets, lined the rocks through which they passed. Every day was a festival; balls and entertainments followed one another. <br />
But the princess had not yet appeared. People said that she was being brought up and educated in a religious house, where she was learning every royal virtue. At last she came. Then the little mermaid, who was very anxious to see whether she was really beautiful, was obliged to acknowledge that she had never seen a more perfect vision of beauty. Her skin was delicately fair, and beneath her long dark eye-lashes her laughing blue eyes shone with truth and purity. <br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4992979661149222710&postID=7355773734036681208" name="18" title="18"></a><br />
"It was you," said the prince, "who saved my life when I lay dead on the beach," and he folded his blushing bride in his arms. "Oh, I am too happy," said he to the little mermaid; "my fondest hopes are all fulfilled. You will rejoice at my happiness; for your devotion to me is great and sincere." <br />
The little mermaid kissed his hand, and felt as if her heart were already broken. His wedding morning would bring death to her, and she would change into the foam of the sea. All the church bells rung, and the heralds rode about the town proclaiming the betrothal. Perfumed oil was burning in costly silver lamps on every altar. The priests waved the censers, while the bride and bridegroom joined their hands and received the blessing of the bishop. The little mermaid, dressed in silk and gold, held up the bride's train; but her ears heard nothing of the festive music, and her eyes saw not the holy ceremony; she thought of the night of death which was coming to her, and of all she had lost in the world. <br />
On the same evening the bride and bridegroom went on board ship; cannons were roaring, flags waving, and in the centre of the ship a costly tent of purple and gold had been erected. It contained elegant couches, for the reception of the bridal pair during the night. The ship, with swelling sails and a favorable wind, glided away smoothly and lightly over the calm sea. When it grew dark a number of colored lamps were lit, and the sailors danced merrily on the deck. The little mermaid could not help thinking of her first rising out of the sea, when she had seen similar festivities and joys; and she joined in the dance, poised herself in the air as a swallow when he pursues his prey, and all present cheered her with wonder. She had never danced so elegantly before. Her tender feet felt as if cut with sharp knives, but she cared not for it; a sharper pang had pierced through her heart. She knew this was the last evening she should ever see the prince, for whom she had forsaken her kindred and her home; she had given up her beautiful voice, and suffered unheard-of pain daily for him, while he knew nothing of it. This was the last evening that she would breathe the same air with him, or gaze on the starry sky and the deep sea; an eternal night, without a thought or a dream, awaited her: she had no soul and now she could never win one. All was joy and gayety on board ship till long after midnight; she laughed and danced with the rest, while the thoughts of death were in her heart. The prince kissed his beautiful bride, while she played with his raven hair, till they went arm-in-arm to rest in the splendid tent. Then all became still on board the ship; the helmsman, alone awake, stood at the helm. The little mermaid leaned her white arms on the edge of the vessel, and looked towards the east for the first blush of morning, for that first ray of dawn that would bring her death. She saw her sisters rising out of the flood: they were as pale as herself; but their long beautiful hair waved no more in the wind, and had been cut off. <br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4992979661149222710&postID=7355773734036681208" name="19" title="19"></a><br />
"We have given our hair to the witch," said they, "to obtain help for you, that you may not die to-night. She has given us a knife: here it is, see it is very sharp. Before the sun rises you must plunge it into the heart of the prince; when the warm blood falls upon your feet they will grow together again, and form into a fish's tail, and you will be once more a mermaid, and return to us to live out your three hundred years before you die and change into the salt sea foam. Haste, then; he or you must die before sunrise. Our old grandmother moans so for you, that her white hair is falling off from sorrow, as ours fell under the witch's scissors. Kill the prince and come back; hasten: do you not see the first red streaks in the sky? In a few minutes the sun will rise, and you must die." And then they sighed deeply and mournfully, and sank down beneath the waves. <br />
The little mermaid drew back the crimson curtain of the tent, and beheld the fair bride with her head resting on the prince's breast. She bent down and kissed his fair brow, then looked at the sky on which the rosy dawn grew brighter and brighter; then she glanced at the sharp knife, and again fixed her eyes on the prince, who whispered the name of his bride in his dreams. She was in his thoughts, and the knife trembled in the hand of the little mermaid: then she flung it far away from her into the waves; the water turned red where it fell, and the drops that spurted up looked like blood. She cast one more lingering, half-fainting glance at the prince, and then threw herself from the ship into the sea, and thought her body was dissolving into foam. <br />
The sun rose above the waves, and his warm rays fell on the cold foam of the little mermaid, who did not feel as if she were dying. She saw the bright sun, and all around her floated hundreds of transparent beautiful beings; she could see through them the white sails of the ship, and the red clouds in the sky; their speech was melodious, but too ethereal to be heard by mortal ears, as they were also unseen by mortal eyes. The little mermaid perceived that she had a body like theirs, and that she continued to rise higher and higher out of the foam. <br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4992979661149222710&postID=7355773734036681208" name="20" title="20"></a></div><div align="justify">"Where am I?" asked she, and her voice sounded ethereal, as the voice of those who were with her; no earthly music could imitate it. <br />
"Among the daughters of the air," answered one of them. "A mermaid has not an immortal soul, nor can she obtain one unless she wins the love of a human being. On the power of another hangs her eternal destiny. But the daughters of the air, although they do not possess an immortal soul, can, by their good deeds, procure one for themselves. We fly to warm countries, and cool the sultry air that destroys mankind with the pestilence. We carry the perfume of the flowers to spread health and restoration. After we have striven for three hundred years to all the good in our power, we receive an immortal soul and take part in the happiness of mankind. You, poor little mermaid, have tried with your whole heart to do as we are doing; you have suffered and endured and raised yourself to the spirit-world by your good deeds; and now, by striving for three hundred years in the same way, you may obtain an immortal soul." <br />
The little mermaid lifted her glorified eyes towards the sun, and felt them, for the first time, filling with tears. On the ship, in which she had left the prince, there were life and noise; she saw him and his beautiful bride searching for her; sorrowfully they gazed at the pearly foam, as if they knew she had thrown herself into the waves. Unseen she kissed the forehead of her bride, and fanned the prince, and then mounted with the other children of the air to a rosy cloud that floated through the aether. <br />
"After three hundred years, thus shall we float into the kingdom of heaven," said she. <br />
"And we may even get there sooner," whispered one of her companions. "Unseen we can enter the houses of men, where there are children, and for every day on which we find a good child, who is the joy of his parents and deserves their love, our time of probation is shortened. The child does not know, when we fly through the room, that we smile with joy at his good conduct, for we can count one year less of our three hundred years. But when we see a naughty or a wicked child, we shed tears of sorrow, and for every tear a day is added to our time of trial!"</div></span>kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4992979661149222710.post-73596335832705920612011-01-22T02:39:00.001-08:002011-01-22T02:39:36.676-08:00The Little Match-Seller<div align="justify"><em><strong>by Hans Christian Andersen</strong></em></div><div align="justify"><br />
It was terribly cold and nearly dark on the last evening of the old year, and the snow was falling fast. In the cold and the darkness, a poor little girl, with bare head and naked feet, roamed through the streets. It is true she had on a pair of slippers when she left home, but they were not of much use. They were very large, so large, indeed, that they had belonged to her mother, and the poor little creature had lost them in running across the street to avoid two carriages that were rolling along at a terrible rate. One of the slippers she could not find, and a boy seized upon the other and ran away with it, saying that he could use it as a cradle, when he had children of his own. So the little girl went on with her little naked feet, which were quite red and blue with the cold. <br />
In an old apron she carried a number of matches, and had a bundle of them in her hands. No one had bought anything of her the whole day, nor had any one given here even a penny. Shivering with cold and hunger, she crept along; poor little child, she looked the picture of misery. The snowflakes fell on her long, fair hair, which hung in curls on her shoulders, but she regarded them not. <br />
Lights were shining from every window, and there was a savory smell of roast goose, for it was New-year's eve - yes, she remembered that. In a corner, between two houses, one of which projected beyond the other, she sank down and huddled herself together. She had drawn her little feet under her, but she could not keep off the cold; and she dared not go home, for she had sold no matches, and could not take home even a penny of money. Her father would certainly beat her; besides, it was almost as cold at home as here, for they had only the roof to cover them, through which the wind howled, although the largest holes had been stopped up with straw and rags. <br />
Her little hands were almost frozen with the cold. Ah! perhaps a burning match might be some good, if she could draw it from the bundle and strike it against the wall, just to warm her fingers. <br />
<a href="" name="2" title="2"></a></div><div align="justify"> She drew one out - "scratch!" how it sputtered as it burnt! It gave a warm, bright light, like a little candle, as she held her hand over it. It was really a wonderful light. It seemed to the little girl that she was sitting by a large iron stove, with polished brass feet and a brass ornament. How the fire burned! and seemed so beautifully warm that the child stretched out her feet as if to warm them, when, lo! the flame of the match went out, the stove vanished, and she had only the remains of the half-burnt match in her hand. <br />
She rubbed another match on the wall. It burst into a flame, and where its light fell upon the wall it became as transparent as a veil, and she could see into the room. The table was covered with a snowy white table-cloth, on which stood a splendid dinner service, and a steaming roast goose, stuffed with apples and dried plums. And what was still more wonderful, the goose jumped down from the dish and waddled across the floor, with a knife and fork in its breast, to the little girl. Then the match went out, and there remained nothing but the thick, damp, cold wall before her. <br />
She lighted another match, and then she found herself sitting under a beautiful Christmas-tree. It was larger and more beautifully decorated than the one which she had seen through the glass door at the rich merchant's. Thousands of tapers were burning upon the green branches, and colored pictures, like those she had seen in the show-windows, looked down upon it all. The little one stretched out her hand towards them, and the match went out. <br />
The Christmas lights rose higher and higher, till they looked to her like the stars in the sky. Then she saw a star fall, leaving behind it a bright streak of fire. "Some one is dying," thought the little girl, for her old grandmother, the only one who had ever loved her, and who was now dead, had told her that when a star falls, a soul was going up to God. <br />
She again rubbed a match on the wall, and the light shone round her; in the brightness stood her old grandmother, clear and shining, yet mild and loving in her appearance. <br />
<a href="" name="3" title="3"></a></div><div align="justify"> "Grandmother," cried the little one, "O take me with you; I know you will go away when the match burns out; you will vanish like the warm stove, the roast goose, and the large, glorious Christmas-tree." <br />
And she made haste to light the whole bundle of matches, for she wished to keep her grandmother there. And the matches glowed with a light that was brighter than the noon-day, and her grandmother had never appeared so large or so beautiful. She took the little girl in her arms, and they both flew upwards in brightness and joy far above the earth, where there was neither cold nor hunger nor pain, for they were with God. <br />
In the dawn of morning there lay the poor little one, with pale cheeks and smiling mouth, leaning against the wall; she had been frozen to death on the last evening of the year; and the New-year's sun rose and shone upon a little corpse! The child still sat, in the stiffness of death, holding the matches in her hand, one bundle of which was burnt. <br />
"She tried to warm herself," said some. <br />
No one imagined what beautiful things she had seen, nor into what glory she had entered with her grandmother, on New-year's day. </div>kikymarthaahttp://www.blogger.com/profile/11004565662962497165noreply@blogger.com0